PENGETAHUAN
TENTANG SEMIOTIK
A. A. Sistem
Tanda (Semiotik)
Semiotik
(semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Pokok perhatian semiotik
adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri
khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu
dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya
bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan.
Secara
garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic),
semiotik sintaktik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic)
1. Semiotik Pragmatik (semiotic
pragmatic)
Semiotik
Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang
menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas
perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan
tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam
menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera
manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan
persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi
oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat
sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain,
hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
2. Semiotik Sintaktik (semiotic
syntactic)
Semiotik
Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya
ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini
mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam
arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur
sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur
akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya,
hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
3. Semiotik
Semantik (semiotic semantic)
Semiotik
Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang
disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang
sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya
arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya
yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai
kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu
rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin
disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima
secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan
perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.
B. Teori
Semiotik
1. C.S. Peirce
1. C.S. Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle
meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan
interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap
oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce
terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang
muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan
sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda
adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang
dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran
dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu
atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah
tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul
dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh:
Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi
mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol
keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan
penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai
icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
2. Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure
(1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi)
yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai
bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang
pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau
nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika
Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa
disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang
mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau
konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda
tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan
gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian
dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk
mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda
tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce
yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier,
bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai
unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata
“anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda
kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified
merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai
kertas.” (Sobur, 2006).
3. Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam
teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan
pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita
Kusumarini, 2006).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure
tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama
bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami
dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi
(makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah
titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan
istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos”
yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan
konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi
“keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol
pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah
konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap
ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
4. Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa
yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas
yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya,
kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality).
Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu
tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan
menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil
multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu
mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya
karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan
tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang
memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah
capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar
biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang
merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan
pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di
pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan
hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal
sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar
manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli
obatnya.
5. J. Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya.
Dekonstruksi menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala
keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep
Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk
pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas pada dasarnya
dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui
penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan
konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda
senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006:
100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus
hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan
demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di
pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini
dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa
dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah
masjid bernama Lala Mustafa dulunya bernama St. Nicholas Cathedral, sebuah
gereja abad ke-14 yang bergaya gothic. Bangunan ini terletak di Famagusta,
Siprus bagian utara. Bangunan bernama lengkap Masjid Lala Mustafa Pasha ini
merupakan salah satu monument penting di Siprus. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan
ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Masjid
yang awalnya sebuah katedral ini didesain oleh Jean Langlois yang
berkewarganegaraan Perancis. Terdapat banyak jasad prajurit perang salib yang
disemayamkan di bawah tanah katedral. Seseorang bisa menafsirkan bahwa bangunan masjid Lala Mustafa
angker atau berbau mistis, mengingat banyak mayat yang disemayamkan di bawah
masjid tersebut.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai
‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik
biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga
lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer. Di lain pihak, bentuk
masjid yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi,
di mana lantai katedral dilapisi oleh karpet yang kini digunakan sebagai tempat
beribadah orang muslim tersebut,
menawarkan kekhusyukan yang indah, yang ‘mempertemukan’ seorang hamba ataupun jamaah
dengan Sang Khalik.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga
makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut.
Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi)
makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing
makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat
tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat
tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang
membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu
dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida
sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda
tersebut.
6. Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai
ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling
komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia
mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara
lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi
hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian
mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu
tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat
pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda
dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar
hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang
dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak
memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi
secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa
dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam
pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya
Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang
lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping
itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
7. Ogden & Richard
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan
teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori
Barthes yang di dalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda
(signified) dengan Penanda (signifier) di mana Penanda kemudian dibagi menjadi
dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier)
itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti
merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna,
konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti,
penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak
selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki
suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud
obyek/benda/fungsi aktual.
C. Semiotika Teks
Pengertian teks
secara sederhana adalah “kombinasi tanda-tanda” (Piliang, 2003). Dalam
pemahaman yang sama, semua produk desain (termasuk arsitektur dan interior)
dapat dianggap sebagai sebuah teks, karena produk desain tersebut merupakan
kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu, sehingga
menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan berfungsi (Yusita Kusumarini, 2006).
Dalam menganalisis dengan metode semiotika, pada prinsipnya dilakukan dalam dua
tingkatan analisis, yaitu: Analisis tanda secara individual (jenis tanda,
mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual. Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau
kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks. Untuk menganalisis tanda secara individual
dapat digunakan model analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda
(Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda tersebut menggunakan teori semiotik
pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce. Sedangkan dalam hal analisis
struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de Saussure. Kemudian dalam
menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis
tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya (tipologi tanda
dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita
Kusumarini, 2006).
Untuk
menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak
hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga
termasuk pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih
besar (teks) yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu
(latar belakang kombinasi tanda). Ada
beberapa model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang diajukan oleh
Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi
(keanekaragaman makna sebuah penanda). Konotasi tanda berkaitan dengan kode
nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi. Tiap teks adalah
kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu menghasilkan
konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda).
Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain
yang mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima
luas secara sosial akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar).
Denotasi merepresentasikan mitos budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap.
D. Bidang Terapan Semiotik
Pada prinsipnya jumlah bidang terapan
semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses
komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya
yang lebih kompleks.19 bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian
ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14), antara lain :
1. Semiotika
binatang (zoomsemiotic)
2. Tanda – tanda
bauan (olfactory signs)
3. Komunikasi rabaan
(tactile communication)
4. Kode – kode
cecapan (code of taste)
5. Paralinguistik
(paralinguistics)
6. Semiotika medis
(medical semiotics)
7. Kinesik dan
proksemik (kinesics and proxemics)
8. Kode – kode musik
(musical codes)
9. Bahasa – bahasa
yang diformalkan (formalized languages)
10..Bahasa tertulis,
alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages, unknownalphabets,
secret codes)
11. Bahasa alam
(natural languages)
12. Komunikasi
visual (visual communication)
13. Sistem objek
(system of objects)
14. Struktur alur
(plot structure)
15. Teori teks (text
theory)1
16. Kode – kode
budaya (culture codes)
17. Teks estetik
(aesthetic texts)
18. Komunikasi Massa
(mass comunication)
19. Retorika
(rhetoric)
Pada komunikasi, bidang terapan semiotika
pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian
banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain :
1. Media
Mempelajari media adalah mempelajari makna
dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia
memasuki materi media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita
sendiri.Dalam konteks media massa,
khusunya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari
pemberitaan.
2. Periklanan
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji
lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas dua lambing, yakni lambang
verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam
iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara
lain (Berger) :
- Penanda dan petanda
- Gambar, indeks, simbol
- Fenomena sosiologi
- Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
- Desain dari iklan
- Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi
tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes,
iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu:
o Pesan Linguistik
————————– Semua kata dan kalimat dalam iklan
o Pesan yang terkodekan
—————— Konotasi yang muncul dalam foto iklan
o Pesan ikonik yang tak
terkodekan —– Denotasi dalam foto iklan
3. Tanda NonVerbal
Komunikasi
nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata-kata dan bahasa. Tanda-tanda digolongkan dalam berbagai
cara:
·
Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian
diketahui manusia melalui pengalamannya.
·
Tanda yang ditimbulkan oleh binatang
·
Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat
verbal dan nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda-tanda
nonverbal memiliki makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda-tanda
nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya yang lain. Dalam hal
pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan
adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret,
nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan
semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang
terdapat pada benda-benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian
makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang
perlu diperhatikan peneliti, antara lain:
·
Langkah Pertama ——- Melakukan survai lapangan
untuk mencari dan menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si
peneliti.
· Langkah Kedua ——— Melakukan pertimbangan
terminologis terhadap konsep-konsep pada tanda nonverbal.
·
Langkah Ketiga ——— Memperhatikan perilaku
nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap objek yang ditelitinya.
·
Langkah Keempat —– Merupakan langkah terpenting
—– menentukan model semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian.
Tujuan digunakannya model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar
keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.
4. Film
Film
merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotika.
1. Van Zoest
Film dibangun dengan tanda semata-mata.
Pada film digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan
sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting
dalam film adalah gambar dan suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya
sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya
dengan proyektor dan layar.
2. Sardar & Loon
Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri
dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa
melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan
yang sedang disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi
hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences
Sociales (EHESS) Paris.
Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau
beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam
yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak
pernah semena.
5. Komik Kartun Karikatur
Sebelum memasuki pembahasan, terlebih dahulu
kita ketahui apa yang dimaksud dengan komik, kartun, serta karikatur.Komik
adalah cerita bergambar dalam majalah, surat
kabar, atau berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik sendiri
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, comic strips dan comic book. Komik
bertujuan utama menghibur pembaca dengan bacaan ringan, cerita rekaan yang
dilukiskan relatif panjang dan tidak selamanya mengangkat masalah hangat
meskipun menyampaikan moral tertentu. Bahasa komik adalah bahasa gambar dan
bahasa teks.
Kartun adalah sebuah gambar lelucon yang
muncul di media massa,
yang hanya berisikan humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun.
Pada dasarnya, kartun mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam
dan humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca senyum sendirian.
Karikatur adalah deformasi berlebihan atas
wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan mempercantiknya dengan
penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan mengejek (Sudarta,1987). Empat
teknis yang harus diingat sebagai karikatur adalah, harus informatif dan
komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan yang hangat, cukup memuat
kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik. Semula karikatur hanya
merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangannya, karikatur
dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya
dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik bahkan tidak jarang membuat
orang yang dikritik justru tersenyum.
1. Tommy Christomy
Secara formal proses semiosis yang paling
dominan dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang
dibentuk oleh kombinasi tanda argumen indexical legisign.Untuk menganalisis
kartun atau komik-kartun, seyogyanya kita menempatkan diri sebagai kritikus
agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap
komik-kartun tersebut.
2. Setiawan
Komik-kartun penuh dengan perlambangan-perlambangan
yang kaya akan makna. Selain dikaji sebagai teks, secara kontekstual juga
dilakukan yakni dengan menghubungkan karya seni tersebut dengan situasi yang
sedang menonjol di masyarakat. Dalam pandangan Setiawan hal ini di maksudkan
untuk menjaga signifikasi permasalahan dan sekaligus menghindari pembiasan
tafsiran
6. Sastra
1. Santosa
Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan
keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu
bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang
dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang
menyiratkan makna semiotika.
2. Aminudin
Wawasan semiotika dalam studi sastra
memiliki tiga asumsi:
· Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang
berkaitan dengan pengarang, wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.
· Karya sastra merupakan salah satu bentuk
pengunaan sistem tanda (system of signs) yang memiliki struktur dalam tata
tingkat tertentu.
· Karya sastra merupakan fakta yang harus
direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang
dimilikinya.
Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan
pada wujud konkret wacananya, melainkan pada metadiscourse atau bentuk dan ciri
kewacanaan yang tidak teramati secara konkret.
3. Junus & Pradopo
Penelitian sastra dengan pendekatan
semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme.
Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotika karena karya sastra
merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda
dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya sastra atau karya sastra
tidak dapat dimengerti secara optimal.Dalam penelitian sastra dengan
menggunakan pendekatan semiotika, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak
dicari, yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat.
4. Preminger
Studi semiotika sastra adalah usaha untuk
menganalisis sistem tanda-tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menentukan
konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
7.
Musik
Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus
musik, adanya tanda-tanda perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur
orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis
karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik semula
terutama terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup
hanya dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa semantik
juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik.
1. Aart van Zoest
Tiga kemungkinan dalam mencari denotatum
musik ke arah isi tanggapan dan perasaan:
·
Untuk menganggap unsur-unsur struktur musik
sebagai ikonis bagi gejala-gejala neurofisiologis pendengar,
·
Untuk menganggap gejala-gejala struktural dalam
musik sebagai ikonis bagi gejala-gejala struktural dunia penghayatan yang
dikenal.
·
Untuk mencari denotatum musik ke arah isi
tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksial.
Untuk menganalisi musik tentu juga
diperlukan disiplin lain, misalnya ethnomusicology dan antropologi. Dalam
ethnomusicology, musik dipelajari melalui aturan tertentu yang dihubungkan
dengan bentuk kesenian lainnya termasuk bahasa, agama, dan falsafah.