Minggu, 26 Desember 2021

 KRITIK SASTRA


Gambar 1.  Kritik Sastra


A. Pengertian Kritik Sastra

Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni. Abrams dalam (Harjito, 2005:57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.

Pengertian kritik sastra di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena sampai saat ini belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan mencari serta menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis.

Ilmu Sastra terdri dari: (1) Teori Sastra; (2) Sejarah Sastra; dan (3) Kritik Sasra.

1.    Teori sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan tentang:
a.    pengertian-pengertian dasar tentang sastra,
b.    hakikat sastra,
c.    prinsip-prinsip sastra,
d.    latar belakang sastra,
e.    jenis-jenis sastra, dan
f.     susunan dalam karya sastra dan prinsip-prinsip tentang penilaian sastra.
 
2.    Sejarah sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan tentang:
a.    membicarakan tentang perkembangan sastra,
b.    ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya sastra tersebut, dan
c.    situasi sosial masyarakat dan idiologi.

3. Kritik sastra yang dalam eksistensinya sendiri turut serta membicarakan tentang;
a.    analisis,
b.    interpretasi, dan
c.    menilai karya sastra.

Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Sebagaimana teori sastra yang sudah pasti membutuhkan kerja sama dengan sejarah sastra. Sejarah satra yang tidak bisa dipisahkan dari teori dan kritik sastra, begitu juga dengan kritik sastra yang membutuhkan adanya teori dan sejarah sastra.

Apabila diperhatikan hal di atas, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan bahwa sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati, ditafsirkan, dan dinilai secara sempurna tanpa adanya intervensi dari ketiga bidang ilmu sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak dibantu oleh sejarah dan kritik sastra; begitu juga dengan sejarah sastra yang tidak dapat dipaparkan, jika teori dan kritik sastra tidak jelas; dan kritik sastra tidak akan mencapai sasaran, apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan tumpuan.

Analisis merupakan hal yang sangat penting dalam kritik sastra. Sebagaimana Jassin dalam Pengkajian Sastra menjelaskan bahwa kritik sastra ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan dengan memberi alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya. Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang ditunjukkan pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa setiap karya sastra adalah hasil karya yang diciptakan pengarang, maka kritik sastra mencakup masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Namun, sasaran utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna bagi krtikus tersebut, bukan pada pengarangnya. Seorang kritikus sastra mengungkapkan pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang lain, mencoba menemukan pengalaman estetis persepsi tentang realitas yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengamatannya terhadap cara penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.

Dalam hal ini, tampak adanya hubungan antara liguistik dengan kritik sastra. Dimana bagi seorang linguistik, kode itu sendiri dan cara kode dibangun di dalam teks yang menjadi perhatian utamanya. Baginya makna itu penting jika dapat menjelaskan bagaimana kode-kode itu dibentuk.

Panuti Sudjiman (1993) mendeskripsikan bahwa stilistika yang merupakan bagian dari linguistik, memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan, memiliki peran penting karena stilistika dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik dipihak lain.  

Hubungan tersebut tercipta karena:

1)    Stilistika mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak lain).
2)    Stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik.
3)    Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasaserta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.
4)    Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra.
5)  Stilistika meneliti deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa.

Ia menambahkan bahwa hubugan kritik sastra dengan analisis stilistika bukan berarti berperpretensi menggantikan kritik sastra. Justru sebaliknya, kritik sastra tidak berpretensi menggantikan kritik sastra serta membuka jalan untuk kritik sastra yang efektif. Pengkajian stilistik tidak bermaksud mematikan intuisi karya sastra. Analisis stilistik justru berusaha menggantikan subjektivitas dan inpresionisme yang digunakan oleh kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah.

Jelaslah, bahwa stilistika berupaya menujukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan dan menemukan ciri yang benar-benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar), tidak sekedar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana stilistik dalam suatu karya sastra.


B. Aktivitas Kritik Sastra

Dari pengertian kritik sastra di atas, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Secara rinci. Aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yaitu; (1) menganalisis; (2) menafsirkan, dan (3) menilai.

1.    Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut.

2.  Menafsirkan (interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas atau memperjernih maksud karya sastra dengan cara:

a.  memusatkan interpretasi kepada ambiguitas, kias, atau kegelapan dalam karya sastra,
b.   memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra.

Seorang kritikus yang baik tidak lantas terpukau terhadap apa yang sedang dinikmati atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasionalnya seorang kritikus harus mampu membuat penafsiran-penfsiran sehingga karya sastra itu datang secara utuh.     

Jan Van Luxmburk dkk. dalam Pengkajian Sastra (2005: 58-59) membedakan enam jenis pokok penafsiran sebagaimana berikut:

1)    penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sudah jelas,
2)    penafsiran yang berusaha  untuk meyusun kembali arti historik,
3)  penafsiran heurmenetik, yaitu keahlian menginterpretasi karya sastra yang berusaha memperpadukan masa lalu dan masa kini,
4) tafsiran-tafsiran dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra,
5) tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada sutu problematik tertentu, misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi, dan
6)    tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sbuah teks diartikan.

Pendekatan yang berkiblat pada pembaca disebut estetika-represif. Jika teks yang brsangkutan tidak untuk atau mempunyai versi yang berbeda, trlebih dahulu hrus dilakukan penafsiran filologis.

    3.  Penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari                analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus             sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang                 dianut,  dipakai, atau dipahami seorang kritikus.


C. Fungsi Kritik Sastra

Dalam mengkritik karya sastra, seorang kitikus tidaklah bertindak semaunya. Ia harus melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana pengarang dalam melahirkan karya sastra. Karena kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asas-asas keilmuan yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan objek empiris. Setidaknya, ada beberapa manfaat kritik sastra yang perlu untuk kita ketahui, sebagaimana berikut:

1. Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra

Dalam mengkritik, seorang kritikus akan menunjukkan hal-hal yang bernilai atau tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian, sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada akhirnya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.

2. Kritik sastra berfungsi untuk penerangan bagi penikmat sastra

Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus. Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus moral, mempertajam pikiran, kemanusiaan, kebenaran dll).

3. Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri

Analisis yang dilakukan kritikus dalam mengkritik harus didasarkan pada referensi-referensi dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti inilah yang justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri, dimana seorang pengarang akan dapat  belajar melalui kritik sastra dalam memperluas pandangannya, sehingga akan berdampak pada meningkatnya  kualitas karya sastra.

Fungsi kritik sastra di atas akan menjadi kenyataan karena adanya tanggung jawab antara kritikus dan sastrawan serta tanggungjawab mereka dalam memanfaatkan kritik sastra tersebut.

Dengan demikian, tidak perlu diragukan bahwa adanya kritik yang kuat serta jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya sastra. Karena sastrawan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya dipublikasikannya karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, ketiadaaan kritik pada medan sastra akan membawa pada munculnya karya-karya sastra yang picisan.

Raminah Baribin (1993) menambahkan, bahwasanya tidak semua kritik sastra dapat menjelaskan fungsinya, oleh sebab itu kritik sastra harus memiliki tanggung jawab atas tugasnya serta mampu membuktikan bahwa dengan adanya kritik yang dilakukan oleh kritikus mampu memberikan sumbangan yang berharga terhadap pembinaan dan pengembangan sastra.

Karenanya kritik sastra berfungsi apabila;

1)    disusun atas dasar untuk meningkatkan dan membangun sastra,
2)    melakukan kritik secara objektif, menggunakan pendekatan dan metode yang jelas, agar dapat dipertangungjawabkan
3)    mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja sastrawan,
4)    dapat menyesuikan diri dengan ruang lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku, dan
5)    dapat membimbing pembaca untuk berpikir kritis dan dapat meningkatkan apresiasi sastra masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Baribin, Raminah. 1993. Kritik dan Penilaian. Semarang: IKIP Semarang Press.

Harjito. 2007. Melek Sastra. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama

Jumat, 11 Desember 2020

LEKRA DAN MANIKEBU

 LEKRA DAN MANIKEBU

Jarang yang tahu bahwa di sekitar masa huru-hara politik pertengahan dekade 60-an, juga berimbas pada dunia sastra Indonesia. Taufik Ismail menyebutnya Prahara Budaya. Pramoedya Ananta Toer menyebut Taufik, dkk. (para sastrawan Manikebu) sebagai pemecah kesatuan bangsa dan merongrong kekuasaan Soekarno. Berkembang selentingan bahwa Lekra membakar banyak buku yang tidak sejalan dengan ideologinya. Sastrawan yang enggan terlibat politik praktis berusaha menggalang kesatuan dengan suatu gerakan bernama Manifes Kebudayaan pada pertengahan tahun 1963. Namun, akhirnya Soekarno melarang Manikebu karena dianggap berusaha menandingi Manipol negara.

A.   Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)

Lekra merupakan akronim dari Lembaga Kebudayaan Rakyat, adalah organisasi seniman dan budayawan haluan kiri yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Arjuna, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, dan Njoto.

Lekra lahir dan tumbuh seiring suasana Indonesia pada masa itu yang menjadikan politik sebagai panglima. Karena politik dinomorsatukan, kebudayaaan pun menjadi sarat politik sekaligus menjadi ajang tarung politik. Tidak ayal lagi, pada zaman itu kesenian dan kebudayaan menjadi alat yang ampuh untuk menarik, menghimpun, dan memengaruhi massa. Jadi, wajar saja kalau partai politik dan organisasi kemasyarakatan mempunyai organisasi atau lembaga kesenian/kebudayaan. Misalnya, Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Nahdatul Ulama mempunyai Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), dan Partai Indonesia (Partindo) mempunyai Lembaga Seni Budaya.

Di antara lembaga kebudayaan yang ada ketika itu, Lekra-lah yang paling gemuk. Lekra menarik perhatian banyak seniman dari berbagai lapangan. Macam-macam alasan orang masuk Lekra, antara lain:

1.    tertarik karena keberpihakan Lekra pada rakyat;

2.    tertarik karena Lekra menjadi tempat berkumpul seniman top masa itu;

3.  ada juga yang tertarik karena Lekra punya fasilitas menyekolahkan orang ke luar negeri.

Pada masa Lekra dan lembaga-lembaga kebudayaan tersebut, rakyat Indonesia terpecah menjadi tiga kelompok besar: Nasionalis, Agama, dan Komunis, biasa disingkat NASAKOM. Kelompok yang paling dominan adalah komunis. Selanjutnya, pengelompokan mengerucut menjadi dua, yaitu prokomunis dan antikomunis.

Pertarungan ideologi antara kubu pro- dan antikomunis makin seru dan Lekra menjadi primadonanya. Menurut Lekra, seni tidak boleh hanya untuk seni. Seni harus menghamba kepada politik! Yang sibuk berseni bebas, suka bereksperimen, tidak ikut organisasi berarti berseberangan dengan revolusi. Berseberangan dengan revolusi berarti musuh rakyat.

Banyak yang tidak setuju dengan Lekra, di antaranya, adalah tiga budayawan terkemuka ketika itu, yaitu H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, dan Wiratmo Soekito yang kemudian membuat Manifes Kebudayaan yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1963. Dalam beberapa bulan Manifes itu mendapat dukungan lebih dari seribu orang dari berbagai daerah seantero negeri.

Hal itu membuat Lekra yang berhaluan kiri dan PKI kesal. Mereka mulai mengintimidasi para pendukung Manifes. Dengan segala cara akhirnya Lekra dan PKI berhasil membuat Presiden Soekarno melarang Manifes yang dianggap dapat melemahkan semangat revolusi rakyat. Akhirnya, pada 8 Mei 1964, Presiden Soekarno menerbitkan larangan terhadap Manifes Kebudayaan.

Larangan tersebut membuat para pendukung Manifes menjadi bulan-bulanan Lekra sampai menjelang pecahnya G-30-S PKI. Meskipun secara resmi Lekra bukan organisasi onderbouw PKI, kedekatan yang amat sangat dan kesamaan gaya, apalagi pendirinya yang kemudian tampil sebagai pimpinan teras PKI, akhirnya memunculkan anggapan bahwa Lekra adalah anak kandung PKI.

Setelah kegagalan G-30-S PKI, sebagaimana yang terjadi pada PKI, Lekra pun menjadi sasaran kemarahan. Karya mereka dilarang atau dihancurkan; para aktivis Lekra dihabisi; sebagian diasingkan ke pulau terpencil. Bahkan, tidak sedikit yang tidak pulang dari tempat pengucilan.

Seiring tumbangnya ideologi komunis di Indonesia pada akhir dekade 60, yang berarti terjadi pergantian penguasa politik di Indonesia, Lekra akhirnya dinyatakan terlarang sesuai TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tahun 1966, tentang pelarangan omunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya. Dengan ini Lekra benar-benar dianggap bagian dari PKI oleh rezim orde baru. Banyak anggota Lekra dipenjarakan setelah itu dan menjadi tahanan politik. Ada juga yang menyatakan sebagian sastrawan Lekra yang lain sudah terbunuh.

B.   Manifes Kebudayaan (Manikebu)

Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para penyair dan pengarang pada 17 Agustus 1963. Manifestasi ini dilakukan guna melawan dominasi dan tekanan dari golongan kiri, dengan ideologi kesenian dan kesusastraan realisme sosial yang dipraktikkan oleh seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Manifes Kebudayaan ini muncul diprakarsai oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk, Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.

Naskah Manifes Kebudayaan selesai dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963 pada pukul 04.00WIB. Kemudian naskah tersebut dapat diterima oleh Goenawan Mohamad dan Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang akan diajukan ke diskusi pada 23 Agustus 1963 di Jalan Raden Saleh 19, Jakarta. Setelah disetujui, naskah tersebut kemudian diperbanyak dan disebarkan kepada beberapa kalangan seniman untuk dipelajari terlebih dahulu sebagai landasan ideologi.

Dengan bertempat di Jalan Raden Saleh 19 Jakarta, pada tanggal 23 Agustus tepat pukul 11.00 WIB diadakan rapat untuk membahas Manifes kebudayaan. Rapat ini dihadiri oleh tiga belas orang yang terdiri dari kalangan seniman dan budayawan. Ketiga belas orang tersebut adalah H.B Jassin, Trisno Sumandjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Sjahwil, dan Djufri Tanissan.

Kemudian sidang panitia perumus yang berakhir pada pukul 02.30 WIB memutuskan bahwa Manifestasi Kebudayaan dibagi dalam tiga bagian. Ketiga bagian itu dijabarkan menjadi Manifes Kebudayaan, Penjelasan Manifes Kebudayaan, dan Literatur Pancasila. Hasil rumusan ini akan dibawa ke dalam sidang lengkap yang akan diadakan pada 24 Agustus 1963.

Pada tanggal 24 Agustus 1963 diadakan sidang pengesahan Manifes Kebudayaan dengan pimpinan sidang Goenawan Mohamad dan sekretaris Bokor Hutasuhut. Sidang ini dilaksanakan di Jalan Raden Saleh 19 Jakarta dan dimulai pada pukul 13.00 WIB. Atas nama panitia, Bokor Hutasuhut melaporkan hasil kerja panitia perumus yang telah menetapkan Manifes Kebudayaan terdiri dari tiga bagian yaitu Manifes Kebudayaan, Penjelasan Manifes Kebudayaan, dan Literatur Pancasila. Secara aklamasi panitia menetapkan hasil sidang yaitu Manifes Kebudayaan tidak bisa diubah lagi dan Manifes Kebudayaan tidak apriori melahirkan organisasi kebudayaan. Kemudian, Manifes Kebudayaan ini dipublikasikan lewat surat kabar Berita Republik dalam ruang “Forum” Sastra dan Budaya No.1, Th I, 19 Oktober 1963 dan majalah Sastra No. 9/10, Th III,1963.

Naskah Manifes Kebudayaan

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963

Pada tanggal 1 sampai 7 Maret 1964 terselenggara Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang didukung lembaga-lembaga sastra non-aliran komunis termasuk pengusung Manikebu. KKPI terselenggara berkat dukungan militer sayap kanan seperti A.H. Nasution dan Ahmad Yani. Bahkan ketua presidiumnya adalah seorang Brigjen Dr. Sudjono. Disinyalir, Wiratmo Soekito juga bekerja pada dinas rahasia angkatan bersenjata.

Manikebu oleh DN Aidit (Wakil Ketua MPRS dan Menteri Koordinator waktu itu) disebut sebagai pihak yang menentang NASAKOM. Bahkan penyebutan Manikebu tidak terbatas pada sastrawan saja, tapi juga merembet ke siapa saja yang tidak sehaluan dengan ideologi PKI. DN Aidit menyebut manifes kebudayaan sebagai “mani-kebo” yang artinya sperma kerbau sebagai upaya untuk mendiskreditkan pihak tersebut.

Kemudian pada tanggal 8 Mei 1964, Soekarno (Presiden RI pada masa itu) menyatakan Manikebu sebagai ilegal, dengan alasan resmi yang dikemukakan ialah bahwa kecuali Manifesto Politik (Manipol) sebagai garis besar haluan negara, tidak ada manifesto lain yang diperbolehkan, terlebih-lebih karena Manifes Kebudayaan menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi.

Manikebu lekat dengan jargon humanisme universal, seni untuk seni, dan Pancasila sebagai falsafah kebudayaan. Jargon-jargon tersebut yang oleh PKI dianggap menentang Manipol/USDEK-nya Soekarno.

 

C.   Konflik Lekra dengan Manikebu

Kronologi Konflik dapat dijabarkan sebagai berikut:

1.    Juli 1959

Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang mengakhiri era demokrasi liberal parlementer dan memulai era demokrasi terpimpin dengan semboyan NASAKOM. Pasca dekrit, kekuatan politik PKI semakin naik sedangkan kubu religius terpukul setelah Masyumi dinyatakan terlarang oleh Soekarno. Ruang gerak kaum agamawan mulai diawasi ketat, termasuk para sastrawannya. Lekra mulai mendominasi kesusastraan Indonesia.

2.    September 1962

Majalah Lentera (corong media Lekra) memuat tulisan yg menuduh bahwa karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah plagiat karya pengarang Arab, Manfaluthi. H.B. Jassin (pimpinan Majalah Sastra) bereaksi membela Hamka dengan menerbitkan terjemahan karya asli Manfaluthi. Langkah ini tidak menyelesaikan masalah, Lentera semakin menjadi-jadi dalam mengejek Hamka. Mulai muncul sebutan kubu Jassin melawan kubu Pramoedya.

3.    Awal Tahun 1963

Heboh di sekitar Hadiah Sastra yang diumumkan di awal 1963. Seperti biasa, di nomor pertama tahun baru majalah Sastra, Jassin mengumumkan pilihannya atas karya-karya terbaik dari majalah itu selama setahun sebelumnya. Tahun itu penerima hadiah terbaik untuk cerita pendek adalah Bur Rasuanto. Tak disangka-sangka, beberapa orang yang dipilih Jassin menolak untuk menerima penghargaan itu. Lentera memuat pernyataan mereka dengan antusias. Khususnya Virga Belan, seorang penulis yang dikenal tulisannya sejak nomor-nomor pertama Sastra, menggunakan alasan ideologis, dengan menekankan tuduhan bahwa sikap Sastra memang “kontrarevolusioner”.

Dalam terbitannya No. 11/12, Th. III majalah Sastra terdapat potret Pramudya Ananta Toer sedang duduk tersenyum bersama Ed Hoornik, seorang tokoh Sticussa, lembaga kerja sama kebudayaan Belanda yang oleh kalangan Lekra sendiri dikecam sebagai penerus politik “kolonialisme”. Yang hendak dicapai Sastra dengan cara kasar ini adalah bagaimana mendeskreditkan Pramoedya, walaupun foto itu sebenarnya tak dengan sendirinya mengesankan Pramoedya sebagai orang yang “pro-Sticussa”.

Tahun ini Hamka dipenjarakan karena tuduhan makar.

4.    Tanggal 17 Agustus 1963

Manifes Kebudayaan diawali oleh diskusi beberapa sastrawan pada awal Agustus. Hasil dari diskusi tersebut kemudian dirumuskan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963. Setelah selesai dipelajari, akhirnya diterima oleh Gunawan Mohammad dan Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang akan diajukan dalam diskusi tanggal 23 Agustus 1963. Diskusi tanggal 23 Agustus 1963 dihadiri oleh tiga belas orang seniman-budayawan, yaitu Trisno Sumardjo, Zaini, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Bur Rusyanto, A. Bastari Asnin, Ras Siregar, Djufri Tanissan, Soe Hok Djin ( Arif Budiman ), Sjahwil, dan D.S Moeljanto. Pada tanggal 24 Agustus 1963 diadakan siding pengesahan manifes kebudayaan. Selain itu terdapat sastrawan lain yang ikut menandatangani manifes seperti Ras Siregar, Hartoyo Andangdjaja, Sjahwil, jufri Tannisan, Binsar Sitompul, Taufik A.G. Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi Afn, Poernawan Tjondronagoro, Boen S. Oemarjati.

5.    Maret 1964

Pada tanggal 1-7 Maret 1964 terselenggara Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia  (KKPI) yang didukung lembaga-lembaga sastra non aliran komunis termasuk sastrawan pengusung Manikebu. KKPI juga terselenggara berkat dukungan militer sayap kanan seperti AH Nasution dan Ahmad Yani. Bahkan ketua presidiumnya adalah seorang Brigjen Dr. Sudjono. Disinyalir, Wiratmo Soekito juga bekerja pada dinas rahasia angkatan bersenjata.

Pada masa ini PKI, Lekra, dan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), yang merupakan corong PNI, aktif menyebarkan propaganda jelek mengenai KKPI. Oleh Lekra, KKPI disebut KK PSI untuk menyamakan mereka dengan PSI yang terlibat pemberontakan. Lekra juga aktif menyerang personal H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masa itu, Prof. Priyono, yang diminta mengisi sambutan pembukaan malah mempertanyakan falsafah ideologinya hanya Pancasila, mengapa tidak juga sekalian berlandaskan Manifestasi Politik (Manipol) yang merupakan paham PKI pada masa itu.

6.    Tanggal 8 Mei 1964

Manifes Kebudayaan dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno. Terlarang karena Soekarno menganggap manifes kebudayaan akan menyaingi Manipol RI. Soekarno juga menuduh orang-orang manifes kebudayaan ragu-ragu akan revolusi. Akibat pelarangan ini, tulisan-tulisan pengarang yang terlibat dalam manifes kebudayaan menjadi tidak laku, terutama Majalah Sastra sendiri.

7.    Tanggal 11 Mei 1964

H.B. Jassin, Wiratmo, dan Trisno membuat pernyataan yang mendukung larangan tersebut guna menghindarkan kerugian lebih jauh. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari aksi massa PKI yang semakin gencar terhadap pengusung manifestasi kebudayaan.

8.    Tanggal 31 Mei 1964

Melalui media Bintang Timur, DN Aidit menulis sindiran keras berjudul, ”Manikebu Bertugas Lutjuti Sendjata Rakjat”.

9.    Agustus-September 1964

PKI mengadakan konferensi bersifat nasional bernama Konfrensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta. Hal ini dimaksudkan untuk menandingi KPPI dan membuktikkan bahwa ranah seni dan sastra juga dikuasai PKI. Jika KPPI mengundang Soekarno tetapi dimandatkan dan dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka dalam KSSR, sang Presiden sendiri yang membuka dan memberikan sambutan. Hal ini semakin menguatkan posisi PKI dan Lekra, serta memukul sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Departemen P & K mengumumkan pelarangan karya dari orang-orang yang selama ini ditentang Lekra, khususnya “Lentera” seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Idrus, Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang lain.

10.  Tanggal 30 September 1965

Terjadi “gerakan” yang menewaskan pejabat Angkatan Darat. Keadaan menjadi berbalik, PKI yang selama ini di atas angina, mulai jatuh.

11.  Tanggal 13 Oktober 1965

Pramoedya ditangkap di rumahnya - kini disita - di kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu.

12.  Tanggal 12 Maret 1966

Surat Perintah Sebelas Maret yang misterius itu sampai ke Jakarta. Surat yang menjadi legitimasi bagi Soeharto untuk mendapatkan kuasa tak terbatas demi memulihkan keadaan. Salah satu inisiasi tindakan yang diambil adalah membubarkan PKI yang kemudian juga merembet ke berbagai ormas yang dianggap mempunyai afiliasi dengan PKI, termasuk Lekra. Hal ini sesuai dengan TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966, tentang pelarangan Komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya.


“Lekra adalah sekrup dari mesin komunisme!” (Taufiq Ismail)

“Kami tidak masuk partai kiri atau kanan, itu bukan berarti bahwa kami tidak punya pendirian, tetapi karena baik partai kiri atau kanan ada kekurangan-kekurangannya yang tetap harus kami hadapi dengan kritis.” (H.B. Jassin)

“Sebagai seniman, mereka harus percaya pada kekuatan hasil ciptaannya saja. Dan percaya, bahwa kekuatan hasil ciptaan dapat mengatasi segala kotak yang dibuat berdasarkan pandangan politik,” (Ajip Rosidi)

“Lekra dan PKI secara organisasi terpisah, tapi mempunyai tujuan yang sama,” (Putu Oka Sukanta)

Sekilas dari paparan di atas tak terlalu tampak “perang pemikiran” antara dua kubu yang bertikai. Pertentangan yang terjadi hanyalah permasalahan politik yang terbawa oleh pelaku sastra Indonesia yang juga terjun di kancah politik. Bahkan dengan berani politikus-politikus juga memanfaatkan hal tersebut untuk “membunuh” karakter lawan politiknya. Seperti DN Aidit yang mendeskritkan sastrawan Lekra yang lebih pro TNI AD sayap kanan. Tidak terjadi pertukaran ide-ide yang masif dalam dunia sastra seperti layaknya ketika Soekarno dan Hatta berdebat mengenai konsepsi negara Indonesia di masa kolonial.


DAFTAR PUSTAKA 

Anwar, Rosihan. 2006. Soekarno, tentara, PKI: segitiga kekuasaan sebelum prahara politik, 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor.

Budiman, Arief, dan Stanley. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005. Jakarta: Pustaka Alvabet.

https://id.wikipedia.org/wiki/Manifesto_Kebudayaan

K. S., Yudiono, ed. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, ±1942. Jakarta: Balai Pustaka.

Moeljanto, D.S. dan Taufik Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Bandung: Mizan dan Republika.

PERIODESASI SASTRA – BAGIAN IV (MULAI TAHUN 1961 - SEKARANG)

 PERIODESASI SASTRA – BAGIAN IV 

(MULAI TAHUN 1961 - SEKARANG)

Gambar 1 - Para Sastrawan Angkatan 60-an


      Sebelumnya sudah dibahas materi mengenai Periode 1945-1953 dan Periode 1953-1961Pada materi kali ini akan dibahas mengenai Periode 1961 - sekarang.


III. Periode 1961 - sekarang

1.    Sastra dan Politik

Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhan sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Bahkan ada diantaranya yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus daripada pengarang seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi. Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional. Para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersifat anti-politik. Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik.

Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru antara orang-orang yang membela hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mampus” yang berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham realisme-sosialis, yaitu paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif mengadakan polemik. Penganut paham realisme sosialis yang paling keras teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal bahan polemik-polemik ialah paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”, orang-orang yang menganut paham realisme sosialis berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk orang-orang yang berpaham “seni untuk seni” sebagai penganut “humanisme universal” yang dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis kapitalis yang bobrok.

Yang paling bernilai di antara polemik-polemik itu karena kedua belah pihak menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka ialah yang terjadi sekitar tahun 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan Soedjatmoko berkenaan dengan pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya “Mengapa Konfrontasi”.

Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Diantara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh antara lain H.B. Jassin dan Achdiat K. Mihardja. Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.

Dalam gelanggang percaturan politik PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.

Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham.

Dalam bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan.

Tahun 1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).

Dengan berbagai cara, para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror dan difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).

 

        2. Manifes Kebudayaan dan Konferens Karyawan Pengarang se-Indonesia

Mei 1961 diterbitkan Majalah Sastra. Ketuanya H.B. Jassin, Redaktur penyelenggaranya DS. Moeljanto. Majalah sastra mengutamakan memuat cerpen, sajak, kritik, dan esai.

Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A. Peransi, dan lain-lain. Beberapa penulis esai seperti Iwan Simatupang dan Wiratmo Soekito juga banyak menulis dalam majalah sastra. Boen S. Oemarjati, M.S Hutagalung, Virga Belan, Salim Said juga sering mengumumkan kritik-kritiknya dalam majalah tersebut.

Pengarang-pengarang cerpen dalam majalah sastra antara lain B. Soelarto, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha, Hoerip Soeproto, Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass, dan lain-lain. Sedang para penyair antara lain: Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afin, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, Sapardi Djoko Danomo, dan lain-lain.

Pada 17 Agustus 1963 diumumkan “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain.

Manifes Kebudayaan

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat bangsa-bangsa. (Jakarta, 17 Agustus 1963)

PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963

Manifes ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain, manifes itu mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk menghancurkan orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun tidak tinggal diam mereka mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka namakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI berjalan, Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang. Para budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan manifes kebudayaan diusir dari tiap kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.

Perkataan ‘Manikebuis’ menjadi istilah populer untuk menuduh seseorang “kontra revolusi, anti-manipol, anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang terbit. Demikian juga Majalah Indonesia, dan lain-lain.

Situasi ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan periode ini. Yang ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain yang ditulis di tengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun 1966. Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu periode sejak tahun 1966, terbit majalah Horison yang dipimpin Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, Majalah Sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B. Jassin, terbit pula majalah cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S. Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu isinya menunjukkan hasil-hasil masa transisi.

 

        3. Para Pengarang Lekra

Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan menguntungkan bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962 diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra.

Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai “Harian Rakyat” yang dipimpin oleh N.R. Bandaharo. Lekra mempunyai majalah “Zaman Baru” yang dipimpin oleh Rivai Apin. S. Anantaguna, dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka menerbitkan harian “Kebudayaan Baru” yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang dalam penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai, dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan

Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan lentera dalam surat kabar “Bintang” (Timur) Minggu yang resminya ialah koran Partindo.

Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Audit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain.

Di antara para penulis yang namanya sejak mulai muncul selaku dalam lingkungan Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, Bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid, S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A. Simanjuntak, Sugiarti Siswandi, Hadi S, dan lain-lain.

 

         4. Para Pengarang Keagamaan

Yang mau menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja. Beberapa buku kumpulan sajak dan cerita-cerita karangan para pengarang Kristen yang pernah diterbitkan antara lain “Kidung Keramahan” (1963) kumpulan sajak Soeparwata Wiraatmdja ‘Hari-hari Pertama oleh Gerson Poyk, dan kumpulan sejak malam sunyi (1961) dan basah dan peluh (1962) kedua-duanya buah tangan Fridolin Ukur.

Buku-buku karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh lembaga-lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan lembaga-lembaga kebudayaan itu berupa kumpulan-kumpulan cerpen dan roman. Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman yang berdujul “Umi Kalsum” dan “Perjalanan ke Akhirat” diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afin “Gema Lembah Cahaya” (1964) diterbitkan oleh Pembangunan. dan kumpulan sajak delapan orang penyair Islam yang berjudul “Manifes” (1963 diterbitkan oleh penerbit Tintamas)”.

Sementara itu orang-orang Katolik mempunyai sebuah majalah bulanan kebudayaan umum yang terbit di Yogyakarta, basis yang terbit sejak tahun 1951, tetapi baru pada paruh kedua, tahun lima puluhan memberikan perhatian dan tempat yang lebih banyak buat masalah sastra dan karya-karya sastra.

Di antara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah tetapi belum menerbitkan buku, antara lain patut disebut di sini yaitu: M. Abnar Romli, Abdulhadi W.M., B. Jass, M. Josa Biran, Moh. Diponegoro (dari agama Islam); dan M. Poppy Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Bakti Soemanto, J. Sijaranamual, dan lain-lain (dari agama Kristen dan Katolik).

 

        5. Sajak-sajak Perlawanan terhadap Tirani

Para mahasiswa dan pelajar di Indonesia berdemonstrasi menuntut untuk membubarkan PKI, ritual kabinet Dwikora dan turunkan harga, yang biasa disebut Tritura. Para pengarang dan penyair pun turut serta secara aktif dengan cara menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Diantaranya adalah Tirani dan Benteng oleh Taufiq Ismail, Perlawanan oleh Mansur Samin, Mereka Telah Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abdul Wahid Sitomorang, Kebangkitan oleh lima penyair mahasiswa Fakultas Sastra, Ribeli yang ditulis oleh Aldiah Arifin, Djohan A. Nasution, dan Dua Pengaduan Lubis, serta sajak-sajak yang lain.

Yang paling penting adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan Benteng tahun 1968.

Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin memproklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun, mereka adalah Ajip Rosidi, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur Samin, Saribi Afin, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, A.A. Navis, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar Hulasuhut.

Terhadap ‘Angkatan 66’ ini timbul berbagai reaksi Rachmat Djoko Pradopo di Horison (1967) menyambut ‘Angkatan 66” sastra Indonesia dengan baik, sedangkan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan Arief Budiman lebih menyukai nama ‘Angkatan Manifes (Kebudayaan)”.

 

        6. Beberapa Pengarang 

            a. B. Soelarto

Lahir tanggal 11 September 1936 di Purwarejo. Ia menulis cerpen yang penuh dengan protes dan ejekan dan hanya catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial. Dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi mendapat reaksi dari orang-orang Lekra. Kemudian drama itu ditulis dalam bentuk novel yang berjudul Tanpa Nama oleh Nusantara tahun 1963. Balai Pustaka juga menerbitkan dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi (1968).

            b. Bur Rasuanto

Lahir di Palembang, 6 April 1937. Ia menulis sajak, esai, dan roman. Tahun 1967 ia pergi ke Vietnam menjadi wartawan Perang Harian Kami. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-sajaknya berjudul Mereka Telah Bangkit diterbitkan dengan Stensil. Romannya berjudul Sang Ayah (1969), dan Manusia Tanah Air.

            c. A. Bastari Asnin

Lahir tanggal 29 Agustus 1939 d Muara Dua, Palembang. Ia bekerja sebagai anggota redaksi Harian Kami. Cerpen-cerpennya diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan yaitu Di tengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.

           d. Satyagraha Hoerip Soeprobo

Lahir di Lamongan 7 April 1934, ia banyak menulis cerpen dan esai tentang kebudayaan. Romannya Sepasang Suami Istri melukiskan kehidupan seorang suami politikus. Ia juga pernah menulis buku berupa cerita wayang berjudul Resi Bisma. Tahun 1969, ia muncul sebagai editor sebuah buku Antologi Eser Sekitar Persoalan-Persoalan Sastra yang memuat esai karya Asrul Sani, Iwan Simatupang, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.

            e. Gerson Poyk

Lahir di Namodale, Pulau Roti, 16 Juni 1931. Buku pertamanya sebuah roman pendek berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Ia menjadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.

Pengarang-pengarang kita seperti Fas Siregar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Harmoni dan roman Terima Kasih. LC. Bach menerbitkan sebuah roman yang berjudul Hari Membaja. Djumri Obeng menerbitkan roman yang berjudul Dunia Belum Kiamat. Poernawan Tjonsronagoro menerbitkan Mendarat Kembali dan Mabuk Sake. Rosidi Amir menerbitkan Jalan yang Tak Kunjung Datar. Zen Rosidy menerbitkan cerpen berjudul Cinta Pertama. Tabrin Tahar menerbitkan Guruh Kering. Maria Madijah menulis roman Kasih di Medan Perang.

Di majalah Sastra dan Horison juga ada beberapa pengarang baru, misalnya Zulidahlan, Umar Kayam, Danarto, Muh. Fudali, Julius Sijaranamual, dan lain-lain yang belum mendapat kesempatan untuk mencetak cerpen-cerpen mereka menjadi buku.

 

        7. Beberapa Penyair

            a. Taufiq Ismail

Lahir tahun 1937 di Bukit Tinggi dan dibesarkan di Pekalongan. Beliau mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen, dan esai-esainya sejak tahun 1954. Baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke permukaan ketika karyanya berjudul “Tirani” berisi sajak-sajak diumumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar yang menyampaikan “Tritura”. Dalam karyanya ini, beliau memakai nama samaran Nur Fadjar. Sajak-sajak itu berjumlah 18 dan dituliskan dalam waktu seminggu, antara tanggal 20 dan 28 Februari 1966 dan diterbitkan pertama kali di Majalah Gema Psychologi. Kali ini Taufiq sudah terang-terangan mengumumkan namanya sendiri.

Antara tanggal 20 sampai 28 Februari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa-peristiwa penting. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang menuntut Tritura, uang diganti, bensin dinaikkan harganya, ongkos bis kota dinaikkan lima kali lipat. Tanggal 24 Februari Kabinet Dwikora yang baru dan malah memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi akan dilantik. Para mahasiswa dan pelajar bergerak. Bentrokan terjadi disertai penembakan. Arif Rahman Hakim tertembak dan wafat. Hal ini menyebabkan para mahasiswa dan pelajar lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rahman Hakim dilakukan secara pahlawan dan orang yang mengiringi jenazahnya ke pekuburan sangat banyak. Latar belakang itu harus dipahami agar kita dapat menikmati sajak-sajak Taufiq Ismail dalam puisinya berjudul Tirani yang menggugah rangsang emosional pembacanya secara meluas.

Peristiwa di Sekeretariat Negara (penembakan dan beberapa orang mahasiswa terluka) direkamkan dalam sajak ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Harmoni’, ‘Jalan Segara’. ‘Penembakan Arif Rahman Hakim’ direkamkan dalam sajak ‘Karangan Bunga’, ‘Salemba’, ‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’, dan ‘Seorang Tukang Rambutan pada Isterinya’.

Sajak-sajak yang dimuat dalam “Benteng” tak jauh beda dengan yang dimuat dalam “Tirani”. Hanya dalam Benteng pikiran sudah lebih banyak bicara. Dalam sajaknya ‘Rendezvous’, Taufiq yakin bahwa tugas yang ketika itu sedang dilakukannya ialah tugas sejarah yang tak bisa dielakkan. Maka tujuan dan cita-cita yang lebih terperinci dirumuskannya dalam ‘Yang Kami Minta Hanyalah’, ‘Refleksi Seorang Pejuang Tua’, ‘Benteng’, dan ‘Nasihat-nasihat Kecil Orang Tua pada Anaknya Berangkat Dewasa’.

b. Goenawan Mohamad

Goenawan lahir di Pekalongan tahun 1942 sajak-sajak dan esai-esainya belum diterbitkan sebagai buku kecuali yang dimuat bersama buah tangan para penyair lain dalam manifestasi yang diselenggarakan oleh M. Saribi Afin.

Dikenal sebagai penulis esai yang tajam dan penuh dengan kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair berbakat dan produktif. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia di tengah alam sepi tanpa kata banyak menjadi temannya, misalnya ‘Senja pun Jadi Kecil, Kota pun Jadi Putih’ (Horison 1966). Tetapi, ia juga menaruh perhatian kepada masalah-masalah sosial dan kehidupan sekelilingnya. Misalnya sajak ‘Siapakah Laki-laki yang Roboh di Taman ini?’ (Basis 1964).

 

        8. Penyair-Penyair Lain

Saini K.M (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni tahun 1938) banyak menulis sajak-sajak yang dimuat majalah-majalah sekitar tahun enam puluhan. Selain itu, beliau juga menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya “Nyanyian Tanah Air” (tahun 1968) memuat sepilihan sajak-sajaknya.

Wing Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sudah menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Ia telah mengumumkan satu-dua sajaknya pada masa itu. tetapi baru setelah ia bermukim di Paris (tahun 1963-1967), ia mengumumkan sajak-sajaknya secara berlimpah. Selain itu, ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik tentang persoalan-persoalan seni umumnya.

Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938) juga banyak menulis sajak-sajak dalam berbagai majalah. Demikian pula Piek Ardiajnto Suprijadi, Arifin C. Noer, Abdulhadi W.M., Indonesia O’Galelano, Sanento Juliman, Darmanto Jt, dan lain-lain.

Beberapa penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya terbit, misalnya Kamal Firdaus T.F menerbitkan “Di Bawah Fajar Menyingsing” (1965), dan Rachmat Djoko Pradopo (lahir 3 Novemcber 1939 di Klaten) menerbitkan “Matahari Pagi di Tanah Air” (1967) dan Slamet Kirnanto menerbitkan “Kidung Putih”, “Puisi Alit” (1967).

 

          9. Para Pengarang Wanita

Titie Said (Ny. Titie Raja Said Sadikun) adalah seorang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Titie Said pernah menjadi anggota redaksi majalah Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Perjuangan dan Hati Perempuan” (1962). Sebagian besar dari cerpen-erpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya “Maria” dan “Kalimutu” merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.

S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya “Dua Kerinduan” (1963). Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan kita akan kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih dari hanya harapan untuk masa depan.

Sugiarti Siswandi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan Lekra. Kumpulan cerpennya “Sorga di Bumi” terbit tahun 1960. Disamping itu masih banyak lagi cerpen-cerpennya yang lain belum dibukukan.

Ernisiswati Hutomo banyak menulis cerpen yang antara lain dimuat dalam majalah Sastra. Tetapi belum ada yang dibukukan. Demikian juga dengan Titis Basino yang menulis cerpen dengan produktif dalam cerpen-cerpen Titis banyak dilukiskan sifat dan tabiat wanita yang kadang-kadang tak terduga, merupakan misteri.

Enny Sumarjo (lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943) terutama banyak mengumumkan buah tangannya berupa cerpen di daerah (Yogyakarta, Semarang). Kini ia telah menrbitkan sebuah roman berjudul “Sekeping Hati Perempuan” (1969).

Susy Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939) telah berhasil menerbitkan sejumlah sajaknya dalam kumpulan berjudul “Seraut Wajahku” (1961). Tetapi sajak-sajak itu tak lebih dari pada hanya menjanjikan kemungkinan saja, seperti juga dengan sajak-sajak Dwiarti Mardjono yang dimuat dalam majalah sastra.

Toety Heraty Noerhadi yang kalau menulis mempergunakan Toety Heraty, dilahirkan di Bandung tahun 1934, baru mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada tahun 1967 dalam Horison. Ia merupakan seorang sarjana psikologi yang disamping menulis sajak juga menulis esai.

 

      10. Drama

Penulisan drama pada masa dulu lebih banyak dimaksudkan sebagai drama bacaan, sedang drama baru lebih erat hubungannya dengan pementasan. Para penulis drama kebanyakan ialah orang-orang yang aktif dalam bidang pementasan, baik sebagai sutradara maupun pemain. Beberapa pengarang drama:

a. Mohamad Diponegoro seorang ketua group drama Teater Muslim di Yogyakarta. Contoh karyanya antara lain: Iblis, Surat pada Gubernur. Dia juga dikenal sebagai penulis cerpen dan penerjemah ayat-ayat Alquran secara puitis. Namun sampai sekarang karnyanya belum diterbitkan.

b. M. Yunan Helmy Nasution ketua Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI).

c. Saini K.M seorang penyair juga pemain teater Perintis Bandung.

d. B. Soelarto dengan karyanya Domba-domba Revolusi.

e. Arifin C. Noer aktif di Teater Muslim dan group drama di Yogyakarta tahun 1968 dia pindah ke Jakarta dan membentuk teater kecil. Aktif sebagai sutradara dan pemain. Ia banyak menulis sajak, drama, kritik dan esai. Bahkan dramanya yang berjudul “Matahari di sebuah Jalan Kecil” dan “Nenek Tercinta” mendapat hadiah sayembara penulisan drama Teater Muslim tahun 1963.

 

      11. Esai

Pada angkata 45 para penulis esai dapat dihitung dengan jari. Setelah itu bermunculan penulis-penulis esai dan yang paling dikenal Iwan Simatupang. Dia banyak melontarkan gagasan-gagasan dan perspektif-prespektif baik. Namun esai-esai yang ada dalam malajah-majalah yang pertama memuatnya hampir semua terbenam. Kumpulan esai tentang persoalan sastra telah diterbitkan oleh Setyagraha Hoerip Soeprobo dengan judul “Antologi Esai Sekitar Persoalan Sastra” (1969).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Goenadi, M. 1962. Sejarah Kesusastraan Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Noor Komala.

Jassin, H.B. 1962. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II. Jakarta: Gunung Agung.

Anwar, M. Shoim. 2013. Sejarah Sastra Indonesia. Sidoarjo: Media Ilmu

Rosidi, Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

_________. 1998. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.