LEKRA DAN MANIKEBU
Jarang yang tahu bahwa di sekitar masa huru-hara politik pertengahan dekade 60-an, juga berimbas pada dunia sastra Indonesia. Taufik Ismail menyebutnya Prahara Budaya. Pramoedya Ananta Toer menyebut Taufik, dkk. (para sastrawan Manikebu) sebagai pemecah kesatuan bangsa dan merongrong kekuasaan Soekarno. Berkembang selentingan bahwa Lekra membakar banyak buku yang tidak sejalan dengan ideologinya. Sastrawan yang enggan terlibat politik praktis berusaha menggalang kesatuan dengan suatu gerakan bernama Manifes Kebudayaan pada pertengahan tahun 1963. Namun, akhirnya Soekarno melarang Manikebu karena dianggap berusaha menandingi Manipol negara.
A. Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra)
Lekra merupakan akronim
dari Lembaga Kebudayaan Rakyat, adalah organisasi seniman dan budayawan haluan
kiri yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar,
Henk Ngantung, Arjuna, Joebaar Ajoeb, Sudharnoto, dan Njoto.
Lekra lahir dan tumbuh
seiring suasana Indonesia pada masa itu yang menjadikan politik sebagai
panglima. Karena politik dinomorsatukan, kebudayaaan pun menjadi sarat politik
sekaligus menjadi ajang tarung politik. Tidak ayal lagi, pada zaman itu
kesenian dan kebudayaan menjadi alat yang ampuh untuk menarik, menghimpun, dan
memengaruhi massa. Jadi, wajar saja kalau partai politik dan organisasi
kemasyarakatan mempunyai organisasi atau lembaga kesenian/kebudayaan. Misalnya,
Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN),
Nahdatul Ulama mempunyai Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), dan
Partai Indonesia (Partindo) mempunyai Lembaga Seni Budaya.
Di antara lembaga
kebudayaan yang ada ketika itu, Lekra-lah yang paling gemuk. Lekra menarik
perhatian banyak seniman dari berbagai lapangan. Macam-macam alasan orang masuk
Lekra, antara lain:
1.
tertarik
karena keberpihakan Lekra pada rakyat;
2.
tertarik
karena Lekra menjadi tempat berkumpul seniman top masa itu;
3. ada
juga yang tertarik karena Lekra punya fasilitas menyekolahkan orang ke luar
negeri.
Pada masa Lekra dan
lembaga-lembaga kebudayaan tersebut, rakyat Indonesia terpecah menjadi tiga
kelompok besar: Nasionalis, Agama, dan Komunis, biasa disingkat NASAKOM. Kelompok yang paling dominan
adalah komunis. Selanjutnya, pengelompokan mengerucut menjadi dua, yaitu
prokomunis dan antikomunis.
Pertarungan ideologi
antara kubu pro- dan antikomunis makin seru dan Lekra menjadi primadonanya.
Menurut Lekra, seni tidak boleh hanya untuk seni. Seni harus menghamba kepada
politik! Yang sibuk berseni bebas, suka bereksperimen, tidak ikut organisasi
berarti berseberangan dengan revolusi. Berseberangan dengan revolusi berarti
musuh rakyat.
Banyak yang tidak setuju
dengan Lekra, di antaranya, adalah tiga budayawan terkemuka ketika itu, yaitu
H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, dan Wiratmo Soekito yang kemudian membuat Manifes
Kebudayaan yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1963. Dalam beberapa bulan
Manifes itu mendapat dukungan lebih dari seribu orang dari berbagai daerah
seantero negeri.
Hal itu membuat Lekra yang
berhaluan kiri dan PKI kesal. Mereka mulai mengintimidasi para pendukung
Manifes. Dengan segala cara akhirnya Lekra dan PKI berhasil membuat Presiden
Soekarno melarang Manifes yang dianggap dapat melemahkan semangat revolusi rakyat.
Akhirnya, pada 8 Mei 1964, Presiden Soekarno menerbitkan larangan terhadap
Manifes Kebudayaan.
Larangan tersebut membuat
para pendukung Manifes menjadi bulan-bulanan Lekra sampai menjelang pecahnya
G-30-S PKI. Meskipun secara resmi Lekra bukan organisasi onderbouw PKI, kedekatan yang amat sangat dan kesamaan gaya,
apalagi pendirinya yang kemudian tampil sebagai pimpinan teras PKI, akhirnya
memunculkan anggapan bahwa Lekra adalah anak kandung PKI.
Setelah kegagalan G-30-S
PKI, sebagaimana yang terjadi pada PKI, Lekra pun menjadi sasaran kemarahan.
Karya mereka dilarang atau dihancurkan; para aktivis Lekra dihabisi; sebagian
diasingkan ke pulau terpencil. Bahkan, tidak sedikit yang tidak pulang dari
tempat pengucilan.
Seiring tumbangnya ideologi komunis di Indonesia pada akhir dekade 60, yang berarti terjadi pergantian penguasa politik di Indonesia, Lekra akhirnya dinyatakan terlarang sesuai TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tahun 1966, tentang pelarangan omunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya. Dengan ini Lekra benar-benar dianggap bagian dari PKI oleh rezim orde baru. Banyak anggota Lekra dipenjarakan setelah itu dan menjadi tahanan politik. Ada juga yang menyatakan sebagian sastrawan Lekra yang lain sudah terbunuh.
B. Manifes
Kebudayaan (Manikebu)
Manikebu adalah konsep
kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para penyair dan pengarang pada 17
Agustus 1963. Manifestasi ini dilakukan guna melawan dominasi dan tekanan dari
golongan kiri, dengan ideologi kesenian dan kesusastraan realisme sosial yang
dipraktikkan oleh seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra). Manifes Kebudayaan ini muncul diprakarsai oleh H.B. Jassin,
Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A.
Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo
Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk, Taufiq
Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.
Naskah Manifes Kebudayaan
selesai dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963 pada pukul
04.00WIB. Kemudian naskah tersebut dapat diterima oleh Goenawan Mohamad dan
Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang akan diajukan ke diskusi pada 23 Agustus
1963 di Jalan Raden Saleh 19, Jakarta. Setelah disetujui, naskah tersebut
kemudian diperbanyak dan disebarkan kepada beberapa kalangan seniman untuk
dipelajari terlebih dahulu sebagai landasan ideologi.
Dengan bertempat di Jalan
Raden Saleh 19 Jakarta, pada tanggal 23 Agustus tepat pukul 11.00 WIB diadakan
rapat untuk membahas Manifes kebudayaan. Rapat ini dihadiri oleh tiga belas
orang yang terdiri dari kalangan seniman dan budayawan. Ketiga belas orang
tersebut adalah H.B Jassin, Trisno Sumandjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor
Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S
Moeljanto, Ras Siregar, Sjahwil, dan Djufri Tanissan.
Kemudian sidang panitia
perumus yang berakhir pada pukul 02.30 WIB memutuskan bahwa Manifestasi
Kebudayaan dibagi dalam tiga bagian. Ketiga bagian itu dijabarkan menjadi
Manifes Kebudayaan, Penjelasan Manifes Kebudayaan, dan Literatur Pancasila.
Hasil rumusan ini akan dibawa ke dalam sidang lengkap yang akan diadakan pada
24 Agustus 1963.
Pada tanggal 24 Agustus 1963 diadakan sidang pengesahan Manifes Kebudayaan dengan pimpinan sidang Goenawan Mohamad dan sekretaris Bokor Hutasuhut. Sidang ini dilaksanakan di Jalan Raden Saleh 19 Jakarta dan dimulai pada pukul 13.00 WIB. Atas nama panitia, Bokor Hutasuhut melaporkan hasil kerja panitia perumus yang telah menetapkan Manifes Kebudayaan terdiri dari tiga bagian yaitu Manifes Kebudayaan, Penjelasan Manifes Kebudayaan, dan Literatur Pancasila. Secara aklamasi panitia menetapkan hasil sidang yaitu Manifes Kebudayaan tidak bisa diubah lagi dan Manifes Kebudayaan tidak apriori melahirkan organisasi kebudayaan. Kemudian, Manifes Kebudayaan ini dipublikasikan lewat surat kabar Berita Republik dalam ruang “Forum” Sastra dan Budaya No.1, Th I, 19 Oktober 1963 dan majalah Sastra No. 9/10, Th III,1963.
Naskah
Manifes Kebudayaan
Kami
para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes
kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan
nasional kami.
Bagi
kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.
Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor
kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu
sesuai dengan kodratnya.
Dalam
melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang
sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan
martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat
bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan
kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Pada tanggal 1 sampai 7
Maret 1964 terselenggara Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang
didukung lembaga-lembaga sastra non-aliran komunis termasuk pengusung Manikebu.
KKPI terselenggara berkat dukungan militer sayap kanan seperti A.H. Nasution
dan Ahmad Yani. Bahkan ketua presidiumnya adalah seorang Brigjen Dr. Sudjono. Disinyalir,
Wiratmo Soekito juga bekerja pada dinas rahasia angkatan bersenjata.
Manikebu oleh DN Aidit
(Wakil Ketua MPRS dan Menteri Koordinator waktu itu) disebut sebagai pihak yang
menentang NASAKOM. Bahkan penyebutan Manikebu tidak terbatas pada sastrawan
saja, tapi juga merembet ke siapa saja yang tidak sehaluan dengan ideologi PKI.
DN Aidit menyebut manifes kebudayaan sebagai “mani-kebo” yang artinya sperma
kerbau sebagai upaya untuk mendiskreditkan pihak tersebut.
Kemudian pada tanggal 8
Mei 1964, Soekarno (Presiden RI pada masa itu) menyatakan Manikebu sebagai
ilegal, dengan alasan resmi yang dikemukakan ialah bahwa kecuali Manifesto
Politik (Manipol) sebagai garis besar haluan negara, tidak ada manifesto lain
yang diperbolehkan, terlebih-lebih karena Manifes Kebudayaan menunjukkan sikap
ragu-ragu terhadap revolusi.
Manikebu lekat dengan
jargon humanisme universal, seni
untuk seni, dan Pancasila sebagai
falsafah kebudayaan. Jargon-jargon tersebut yang oleh PKI dianggap
menentang Manipol/USDEK-nya Soekarno.
C. Konflik
Lekra dengan Manikebu
Kronologi Konflik dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Juli
1959
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang mengakhiri era demokrasi liberal parlementer dan memulai era demokrasi terpimpin dengan semboyan NASAKOM. Pasca dekrit, kekuatan politik PKI semakin naik sedangkan kubu religius terpukul setelah Masyumi dinyatakan terlarang oleh Soekarno. Ruang gerak kaum agamawan mulai diawasi ketat, termasuk para sastrawannya. Lekra mulai mendominasi kesusastraan Indonesia.
2. September
1962
Majalah Lentera (corong media Lekra) memuat tulisan yg menuduh bahwa karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah plagiat karya pengarang Arab, Manfaluthi. H.B. Jassin (pimpinan Majalah Sastra) bereaksi membela Hamka dengan menerbitkan terjemahan karya asli Manfaluthi. Langkah ini tidak menyelesaikan masalah, Lentera semakin menjadi-jadi dalam mengejek Hamka. Mulai muncul sebutan kubu Jassin melawan kubu Pramoedya.
3. Awal
Tahun 1963
Heboh di sekitar Hadiah
Sastra yang diumumkan di awal 1963. Seperti biasa, di nomor pertama tahun baru
majalah Sastra, Jassin mengumumkan pilihannya atas karya-karya terbaik dari
majalah itu selama setahun sebelumnya. Tahun itu penerima hadiah terbaik untuk
cerita pendek adalah Bur Rasuanto. Tak disangka-sangka, beberapa orang yang
dipilih Jassin menolak untuk menerima penghargaan itu. Lentera memuat
pernyataan mereka dengan antusias. Khususnya Virga Belan, seorang penulis yang
dikenal tulisannya sejak nomor-nomor pertama Sastra, menggunakan alasan
ideologis, dengan menekankan tuduhan bahwa sikap Sastra memang
“kontrarevolusioner”.
Dalam terbitannya No.
11/12, Th. III majalah Sastra terdapat potret Pramudya Ananta Toer sedang duduk
tersenyum bersama Ed Hoornik, seorang tokoh Sticussa, lembaga kerja sama
kebudayaan Belanda yang oleh kalangan Lekra sendiri dikecam sebagai penerus
politik “kolonialisme”. Yang hendak dicapai Sastra dengan cara kasar ini adalah
bagaimana mendeskreditkan Pramoedya, walaupun foto itu sebenarnya tak dengan
sendirinya mengesankan Pramoedya sebagai orang yang “pro-Sticussa”.
Tahun ini Hamka dipenjarakan karena tuduhan makar.
4. Tanggal
17 Agustus 1963
Manifes Kebudayaan diawali oleh diskusi beberapa sastrawan pada awal Agustus. Hasil dari diskusi tersebut kemudian dirumuskan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963. Setelah selesai dipelajari, akhirnya diterima oleh Gunawan Mohammad dan Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang akan diajukan dalam diskusi tanggal 23 Agustus 1963. Diskusi tanggal 23 Agustus 1963 dihadiri oleh tiga belas orang seniman-budayawan, yaitu Trisno Sumardjo, Zaini, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Bur Rusyanto, A. Bastari Asnin, Ras Siregar, Djufri Tanissan, Soe Hok Djin ( Arif Budiman ), Sjahwil, dan D.S Moeljanto. Pada tanggal 24 Agustus 1963 diadakan siding pengesahan manifes kebudayaan. Selain itu terdapat sastrawan lain yang ikut menandatangani manifes seperti Ras Siregar, Hartoyo Andangdjaja, Sjahwil, jufri Tannisan, Binsar Sitompul, Taufik A.G. Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi Afn, Poernawan Tjondronagoro, Boen S. Oemarjati.
5. Maret
1964
Pada tanggal 1-7 Maret
1964 terselenggara Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang didukung lembaga-lembaga sastra
non aliran komunis termasuk sastrawan pengusung Manikebu. KKPI juga
terselenggara berkat dukungan militer sayap kanan seperti AH Nasution dan Ahmad
Yani. Bahkan ketua presidiumnya adalah seorang Brigjen Dr. Sudjono. Disinyalir,
Wiratmo Soekito juga bekerja pada dinas rahasia angkatan bersenjata.
Pada masa ini PKI, Lekra, dan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), yang merupakan corong PNI, aktif menyebarkan propaganda jelek mengenai KKPI. Oleh Lekra, KKPI disebut KK PSI untuk menyamakan mereka dengan PSI yang terlibat pemberontakan. Lekra juga aktif menyerang personal H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masa itu, Prof. Priyono, yang diminta mengisi sambutan pembukaan malah mempertanyakan falsafah ideologinya hanya Pancasila, mengapa tidak juga sekalian berlandaskan Manifestasi Politik (Manipol) yang merupakan paham PKI pada masa itu.
6. Tanggal
8 Mei 1964
Manifes Kebudayaan dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno. Terlarang karena Soekarno menganggap manifes kebudayaan akan menyaingi Manipol RI. Soekarno juga menuduh orang-orang manifes kebudayaan ragu-ragu akan revolusi. Akibat pelarangan ini, tulisan-tulisan pengarang yang terlibat dalam manifes kebudayaan menjadi tidak laku, terutama Majalah Sastra sendiri.
7. Tanggal
11 Mei 1964
H.B. Jassin, Wiratmo, dan Trisno membuat pernyataan yang mendukung larangan tersebut guna menghindarkan kerugian lebih jauh. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari aksi massa PKI yang semakin gencar terhadap pengusung manifestasi kebudayaan.
8. Tanggal
31 Mei 1964
Melalui media Bintang Timur, DN Aidit menulis sindiran keras berjudul, ”Manikebu Bertugas Lutjuti Sendjata Rakjat”.
9. Agustus-September
1964
PKI mengadakan konferensi bersifat
nasional bernama Konfrensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta. Hal
ini dimaksudkan untuk menandingi KPPI dan membuktikkan bahwa ranah seni dan
sastra juga dikuasai PKI. Jika KPPI mengundang Soekarno tetapi dimandatkan dan
dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka dalam KSSR, sang Presiden
sendiri yang membuka dan memberikan sambutan. Hal ini semakin menguatkan posisi
PKI dan Lekra, serta memukul sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu).
Departemen P & K mengumumkan pelarangan karya dari orang-orang yang selama ini ditentang Lekra, khususnya “Lentera” seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Idrus, Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang lain.
10. Tanggal
30 September 1965
Terjadi “gerakan” yang menewaskan pejabat Angkatan Darat. Keadaan menjadi berbalik, PKI yang selama ini di atas angina, mulai jatuh.
11. Tanggal
13 Oktober 1965
Pramoedya ditangkap di rumahnya - kini disita - di kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu.
12. Tanggal
12 Maret 1966
Surat Perintah Sebelas
Maret yang misterius itu sampai ke Jakarta. Surat yang menjadi legitimasi bagi
Soeharto untuk mendapatkan kuasa tak terbatas demi memulihkan keadaan. Salah
satu inisiasi tindakan yang diambil adalah membubarkan PKI yang kemudian juga
merembet ke berbagai ormas yang dianggap mempunyai afiliasi dengan PKI,
termasuk Lekra. Hal ini sesuai dengan TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966,
tentang pelarangan Komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta
organisasi massanya.
“Lekra adalah sekrup dari mesin komunisme!” (Taufiq Ismail)
“Kami tidak masuk partai kiri atau kanan, itu bukan berarti bahwa kami tidak punya pendirian, tetapi karena baik partai kiri atau kanan ada kekurangan-kekurangannya yang tetap harus kami hadapi dengan kritis.” (H.B. Jassin)
“Sebagai seniman, mereka harus percaya pada kekuatan hasil ciptaannya saja. Dan percaya, bahwa kekuatan hasil ciptaan dapat mengatasi segala kotak yang dibuat berdasarkan pandangan politik,” (Ajip Rosidi)
“Lekra dan PKI secara organisasi terpisah, tapi mempunyai tujuan yang sama,” (Putu Oka Sukanta)
Sekilas dari paparan di
atas tak terlalu tampak “perang pemikiran” antara dua kubu yang bertikai.
Pertentangan yang terjadi hanyalah permasalahan politik yang terbawa oleh
pelaku sastra Indonesia yang juga terjun di kancah politik. Bahkan dengan
berani politikus-politikus juga memanfaatkan hal tersebut untuk “membunuh”
karakter lawan politiknya. Seperti DN Aidit yang mendeskritkan sastrawan Lekra
yang lebih pro TNI AD sayap kanan. Tidak terjadi pertukaran ide-ide yang masif
dalam dunia sastra seperti layaknya ketika Soekarno dan Hatta berdebat mengenai
konsepsi negara Indonesia di masa kolonial.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihan. 2006. Soekarno, tentara, PKI: segitiga kekuasaan
sebelum prahara politik, 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor.
Budiman, Arief, dan Stanley. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan
Tulisan 1965-2005. Jakarta: Pustaka Alvabet.
https://id.wikipedia.org/wiki/Manifesto_Kebudayaan
K. S., Yudiono, ed. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.
Jakarta: Grasindo.
Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional
Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, ±1942. Jakarta: Balai
Pustaka.
Moeljanto, D.S. dan Taufik Ismail.
1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk. Bandung: Mizan dan Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar