PERIODESASI
SASTRA – BAGIAN III (KETIGA)
(PERIODESASI SASTRA TAHUN 1953-1961)
Sebelumnya sudah dibahas materi mengenai Periode 1945-1953. Pada materi kali ini akan dibahas mengenai Periode 1953-1961.
II. Periode 1953-1961
1.
Krisis Sastra Indonesia
Pada
bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang
“Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang”. Dalam simposium itu dilontarkan
istilah “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
Tahun
1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia
antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sutan Takdir Ali
Sjahbana, Prof. Dr. Werthim, dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali
dibicarakan tentang “Impasse” (kemacetan) dan “Krisis Sastra Indonesia” sebagai
akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru
menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada
pertengahan tahun 1954. Nomor pertama majalah ini memuat essay Soejatmako
berjudul “Mengapa Konfrontasi”. Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia
sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar
sekitar psikologisme perseorangan semata-mata” roman-roman besar tak ada
ditulis.
Karangan
Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri
seperti: Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu
pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang
diberinya judul “Kesusastraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis” dengan
bukti-bukti dari dokumentasi yang kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya
krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.
Dalam
tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H,
Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse
Sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan
belaka). Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang
berjangkit dari kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan.
Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks”
angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa keemasan, pada masa
sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.
Sitor Sitomorang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jassin dalam majalah mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.
2. Sastra Majalah
Sejak
tahun 1953 balai pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit
utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Demikian pula penerbit
Pustaka Rakyat yang tadinya disamping balai pustaka merupakan penerbit nasional
yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai
kesukaran begitu juga dengan penerbitan buku lainnya seperti pembangunan, dan
lainnya.
Maka
aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang
atau Siasat, Mimbar Indonesia, Zhenit, Pujangga Baru, dan lain-lain. Karena
sifatnya majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama adalah
yang berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu
panjang. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “Sastra Majalah”.
Istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nugroho Notosusanto yang dimuat dalam
majalah kompas yang dipimpinnya.
Berbeda
dengan para pengarang Punjangga Baru dan Angkatan 45, para pengarang Periode 50
ini lebih menitikberatkan pada penciptaan, hal ini berhubungan juga tentu
dengan kurangnya pengetahuan mereka pada saat itu. Baru kemudian setelah
berkesempatan menambah pengetahuan pula, mereka merumuskan cita-cita dan
kehadirannya.
Dalam
hal ini peranan majalah Kisah (1953-1956), tidak bisa dibilang kecil, karena
banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya
yang mula-mula dalam majalah ini atau banyak pula pengarang yang sudah menulis
sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya
dalam majalah Kisah.
Di
samping itu, patut juga disebut majalah mahasiswa Kompas yang setelah dipimpin
oleh Nugroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada
persoalan-persoalan dan karya-karya sastra, majalah Prosa pimpinan Ajip Rosidi
yang hanya terbit nomor, ruangan kebudayaan genta dalam majalah merdeka yang
diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah seni (terbit hanya setahun)
majalah Konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah budaya (terbit di Yogyakarta)
dan beberapa majalah lain, disamping majalah-majalah yang sudah lama ada
seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang atau Siasat Indonesia.
Termasuk kepada para pengarang dari periode ini antara Nugroho Notosusanto, M. Hussyn Umar, Toto.S.Bachtiar, W.S.Wendra, N.H. Dini Subagio Sastrowardoyo, Trisnoyuono, S.M. Ardan, Rajino Paratikro, A.A. Navis, Sukanto. S.A, Iwan Simatupang.
3. Beberapa Pengarang
a. Nugroho Notosusanto
Nugroho
Notosusanto terkenal sebagi penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tidak
merasa mendapat kepuasaan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri
sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Pengarang
kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah
kumpulan cerpen. Kumulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958). kemudian disusul oleh Tiga Kota (1959). Kumpulan cerpennya yang ketika berjudul Rasa Sajange (1963) yang antara lain
memuat cerpannya yang paling berhasil berjudul “Jembatan”.
Setelah
menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada
penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah. Ia menjadi kepala Pusat Sejarah
Angkatan Bersenjata dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel tituler, kemudian
brigader jenderal.
Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Nugroho salah seorang di antara yang muda-muda ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba mengalami situasi zamannya. Terutama tentang sastra dan kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan tentang cerita pendek.
b. A. A. Navis
A.A.
Navis lebih tepat digolongkan kepada Angakatan ‘45. Ia lahir di Padang Panjang,
17 November 1924. Ia baru muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun
1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama sekaligus menjadi
terkenal berjudul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini kemudian diterbitkan
bersama-sama dengan beberapa buah cerpen lain dengan judul Robohnya Surai Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa tahun
kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada cerpen-cerpen baru ditambahkan,
tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.
Kumpulan
cerpen Navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964). Pada
umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial
psikologis yang luas. Navis banyak mengkritik orang-orang yang melakukan
syari’at agama (Islam) secara membuta dan taklid saja, karena menurut dia Islam
harus dihayati secara rasional dan penuh prikemanusiaan.
Kecuali menulis cerpen, Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967). Juga dalam roman ini masalah agama dan pelaksanaannya mendapat sorotan pengarang secara tajam. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut sebagai seorang pengarang Islam.
c. Trisnoyuwono
Trisnoyuwono
sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Kumpulan
cerpennya yang pertama Laki-laki dan
Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN tahun 1957-1958.
Cerpen-cerpen Trisnoyuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam
situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya.
Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin
Laut (1958) tidak begitu meyakinkan. Kumpulan cerpennya yang berikutnya
berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya lebih baik. Terutama cerpen “Di Medan
Perang” yang dijadikan judul kumpulan ini sangat kuat dan mengesan. Tak
kelirulah kalau cerpen ini juga dianggap sebagai cerpennya terakhir ialah Kisah-kisah Revolusi (1965),
Salah
sebuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan Mesiu Kemudian dikerjakannya menjadi
sebuah roman, judulnya sama dengan judul roman cerpen asalnya, yaitu Pagar Kawat Berduri (1962). Roman ini
dibuat film oleh Asrul Sani sebagai sutradara dan roman ini telah pula
menyebabkan Trisnoyuwono mendapat Hadiah Sastra Yamin.
Di samping itu Trisnoyuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963), dan lain-lain.
d. Iwan Simatupang
Iwan
Simatupang lahir di Sibolga pada tanggal 18 Januari 1928, mula-mula menulis
sajak, kemudian esai. Cerpen-cerpen, drama-drama, juga roman-roman yang ditulisnya,
tidaklah terikat oleh logika, plot, dan perwatakan yang biasa. Drama Absurd Eugene Lonesco dan lain-lainnya
yang sesudah Perang Dunia kedua mendapat perhatian yang besar bukan saja di
Eropa. Di antara drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian
dimuat dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul “Bulan Bujur Sangkar’,
“Taman’, RT Nol/RW Nol’.
Di
antara cerpen-cerpennya patut disebut ‘Lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru
1959) sebagai sebuah cerpen yang baik sekali menyelam ke gua dasar jiwa
manusia, mencari kebenaran antara sadar dan tak sadar.
Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa di antaranya berjudul Ziarah, Kering, dan Merahnya Merah (1968). Yang menonjol dalam roman-roman (dan juga cerpen-cerpen, esai dan drama-dramanya) ialah gayanya yang padat.
e. Toha Mohtar
Pengarang
yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam
majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah sastra
atau kebudayaan) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha
Mohtar. Ia mengejutkan dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul Pulang (1958). Roman ini mendapat hadiah
sastra nasional BMKN tahun 1958.
Sebagai roman, Pulang sangat sederhana, tetapi justru karena kesederhanaannya maka ia terasa jernih bening setelah penulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangan di Surabaya ketika para pemuda mempertahankannya dari serbuan tentara sekutu. Roman ini tidaklah menandingi Pulang yang ditulisnya lebih dahulu. Belakangan terbit pula romannya yang lain yang berjudul Bukan Karena Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).
f. Subagio Sastrowardojo
Subagio
Sastrowardojo lebih dikenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama merupakan
kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957).
Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul Kejantanan
di Sumbing (1965).
Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. ‘Perawan Tua’ merupakan salah sebuah prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.
g. Motinggo Boesje
Motinggo
Boesje lahir di Kupang, kota Lampung, 12 November 1937. Buku yang ditulis dan
diterbitkannya berupa roman-roman. Ia pun menulis cerpen dan drama. Drama-drama
yang ditulisnya umumnya berbentuk novela mengikuti cara penulisan drama Utuy T.
Sontani.
Dengan
drama pula Motinggo pertama kali menarik perhatian orang kepadanya. Ketika ia
mendapat hadiah dalam sayembara penulisan drama yang diadakan tahun 1958.
Dramanya Malam Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama lainnya yang
ditulis kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya dan
Nyonya (1962), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963) dan lain-lain. Sebelum
menulis drama, Motinggo menulis cerpen dan sajak. Cerpennya kemudian dibukukan
antara lain Dalam Keberanian Manusia (1962), Nasehat Untuk Anakku (1963),
Matahari Dalam Kelam (1963) dan lain-lain.
Kemudan yang secara manakjubkan tak habis-habisnya ditulis Motinggo ialah roman. Diantaranya Tidak Menyerah (1962) merupakan cerita menarik yang secara simbolik melukiskan tentang palimo pemburu tua yang kesepian pantang menyerah kepada harimau tua yang mengganas di kampungnya. Sejuta Matahari (1963); Mengungkapkan Suatu Persoalan Sosial 1944 (1962) merupakan roman sebuah revolusi. Masih banyak lagi roman-roman Motinggo yang lain. Misalnya Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (sebuah roman pendek, 1963), Batu Serampok (juga sebuah legenda, (1963), Titisan Dosa di atasnya (1964), Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama barabah (1963), Dia Musuh Keluarga (1968), dan lain-lain.
4. Para Pengarang Lain
a. Rijono Pratikto;
Lahir di Tegal tanggal 27 Agustus 1932. Telah mulai menulis sejak masih duduk di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Rijono merupakan pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen permulaannya kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1951). Cerpen-cerpennya kemudian mendapat ciri sebagai ‘cerita-cerita serem’. Cerpen semacam ini dibukukan dalam Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek lain (1958). Karangan-karangan Rijono yang masih tersimpan antara lain fragmen roman dalam persiapan seperti ‘Gua’ (dalam Indonesia), ‘Dua Manusia Sepanjang Bukit’ (dalam Gelanggang/Siasat) dan lain-lain.
b. S. M. Ardan;
Nama sebenarnya Sjahmardan. Lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932. Mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai, serta kritik sastra. Sajaknya dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit berjudul Ketemu di Jalan (1956). Cerpennya melukiskan kehidupan masyarakat rendah Jakarta dikumpulkan dalam buku Terang Bulan Terang di Kali (1955). Ardan menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan roman yaitu Nyai Dasima (1965).
c. Sukanto S.A.;
Lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen. Tetapi sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958).
d. Alexandre Leo;
Merupakan nama samara. Nama sebenarnya Zulkarnain. Lahir di Lahat tanggal 19 Agustus 1934. Menulis cerpen dikumpulkannya menjadi buku berjudul Orang yang Kembali (1956). Ia pun menulis serangkaian satira (cerita sindiran) tentang ‘Kisah-Kisah dari Negeri Kambing’. Tahun 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul Mendung yang disebutnya “sebuah novela suka duka cerita sebuah rumah tangga”.
e. Bokor Hutasuhut.
Lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934. Cerpen-cerpen yang dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1960). Ia pun menerbitkan dua buah roman yaitu Penakluk Ujung Dunia (1964), dan Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung Dunia dikerjakannya kembali dari sebuah cerita rakyat Batak, Tanah Kesayangan merupakan sebuah roman yang mengambil zaman penjajahan Jepang sebagai latar belakangnya
5. Beberapa Penyair
a. Toto Sudarto Bachtiar
Toto
Sudarto Bachtiar (lahir di Paliman, Cirebon, tanggal 12 Oktober 1929) telah
mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal
“Ibukota Senja” ditulisnya tahun 1951. Sebagian besar sajak-sajaknya telah
dikumpulkan dan diterbitkan menjadi dua buah buku, masing-masing berjudul Suara
(1956) dan Etsa (1958).
“Kumpulan Sajak 1950-1955” telah menyebabkan penyairnya mendapat
hadiah sastra nasional dari BMKN sebagai penyair terbaik tahun 1955-1956.
Sebagai penyair ia senantiasa merindukan kemerdekaan yang disebutnya ‘tanah air
dan laut semua suara’ dan ‘ tanah air penyair dan pengembara’.
Dalam
sajaknya yang berjudul ‘Keterangan’ ia merasa perlu memberi penjelasan kepada
H.B. Jassin kritikus sastra terkemuka, bahwa kuburan penyair “Hanyalah nisan
kata-katanya selama ini/Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur,...”,
tulisannya hanya nasib jari yang lemah”...” Tanpa merasa tahu tentang apa/Dia
menyeret langkahnya/Sampai di mana dia akan tiba/Tetapi dengan jari kakinya
ditulisnya sebuah sajak.
Kepada
Chairil Anwar ia merasa perlu membuat pernyataan; Aku makin menjauh/dari
tempatmu berkata kesekian kali/Laut-laut makin terbuka/Di bawah langit remaja
biru pengap melanda’ (dalam sajak berjudul ‘Pernyataan’).
Kepada
penyair perancis Guillaume Apolllinaire (1880-1918) ia berkata: “Ya
Guillaume, tak apa kita bercinta/Tak putus-putus, asal rindu dendamnya/Aku
waspada juga pada tangan waktu/Pada khianat yang mencekikku bila ‘ku
alpa’.....”.
Dalam
sajaknya ‘Pahlawan Tak Dikenal’ ia melukiskan seorang pemuda yang gugur
tertembak pada hari ‘pahlawan tanpa mengetahui untuk apa’.
Toto banyak sekali menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen atau karangan-karangan lain ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari terjemahan-terjemahan cerpennya dikumpulkan dalam Bunglon (1965) yang antara lain memuat cerpen-cerpen buah tangan Anton Chekhov, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, dan lain-lain.
b. W.S. Rendra
Nama
lengkapnya Wilibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7 November 1935)
ialah penyair Indonesia terpenting pada masa ini.
Sajak-sajaknya
yang permulaan, tampak pengaruh nyanyian-nyanyian dolanan kanak-kanak Jawa dan
pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia (1899-1936) yang pada tahun-tahuin itu
banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K.H.
Kemudian
sajak-sajaknya yang permulaan itu dimuat dalam buku kumpulan sajaknya yang
pertama berjudul Balada Orang-Orang Tercinta (1957). Rendra mendapat hadiah sastra nasional untuk puisi tahun
1955-1956 sebagai salah seorang penyair terbaik.
Sebuah
sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan terbaik. Sebuah
sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan itu berjudul “Terbunuhnya
Atmo Karpo”.
Sajak-sajaknya
sebagian telah diterbitkan dalam Rendra: 4
Kumpulan Sajak (1961), yaitu yang terkumpul dalam “Kakawin-Kawin’, ‘Malam
Stanza’, ‘Nyanyian dari Jalanan’ dan Sajak-Sajak Dua Belas Perak’. Sajak-sajak
yang ditulisnya selama ia di Amerika kian menunjukkan kematangan dan
kesederhanaan pengucapannya, antara lain ‘Nyanyian Angsa’, Khotbah’, ‘Bluess
untuk Bonnie, dan lain-lain.
Selain menulis sajak, Rendra pun menulis cerpen. Diterbitkan dalam sebuah kumpulan berjudul Ia Sudah Bertulang (1963). Juga banyak bergerak di lapangan drama. Ia bertindak sebagai sutradara, pemain dan banyak pula menulis drama-drama asli dan menerjemahkan drama-drama asing untuk dimainkannya. Ia telah menerjemahkan kata penulis drama klasik Yunani Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus San raja, karya pengarang drama Irlandia Bernard Shwa berjudul Arms and the Man, dari pengarang drama Prancis kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908) berjudul Kereta Kencana, dari pengarang Jerman Bertold Brecht (lahir 1890) beberapa drama pendeknya dan lain-lain.
c. Ramadhan K.H.
Lengkapnya
Ramadhan Kartahadimadja lahir di Bandung 16 Maret 1927. Baru tampil namanya
sebagai penulis sekitar tahun 1952. Mula-mula menulis cerpen, kemudian menulis
sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa memperkenalkan sajak-sajak
dan drama-drama Federico Garcia Lorca ke dalam bahasa Indonesia yang
diterjemahkannya dari bahasa Spanyol. Karya-karya penting Lorca sudah
diterjemahkannya semua. Yang sudah terbit dramanya Yerman Saja (1959). Yang
lain-lain diumumkan dalam majalah saja, antaranya drama ‘Rumah Bernada Alba’
dalam majalah Indonesia dan buku-buku sajak-sajak Lorca terpenting seperti Cancioes
dan Romancero Gitano.
Sajaknya sendiri ditulisnya ketika ia baru pulang dari Spanyol, dan dibukukan dengan judul Priangan Si Jelita (1958). Untuk buku itu ia mendapat hadiah sastra nasional dari BKMN tahun 1957-1958 untuk puisi Dendang Sayang
DENDANG
SAYANG
I
Di Cikajang ada gunung
Lembah lenggang nyobek hati,
Bintang pahlawan di dada,
Sepi di atas belati,
Kembang rampe di kuburuan
Selalu jauh kekasih
Romannya berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI UNESCO tahun 1968.
d. Kirdjomuljo
Kirdjomuljo
lahir di Yogyakarta tahun 1930 ialah salah seorang penyair Indonesia yang
banyak sekali menulis sajak. Tahun 1953-1956 banyak di antaranya yang dimuat
dalam majalah-majalah. Tahun 1955 terbit buku kumpulan sajaknya berjudul Romance
Perjalan I. Romance Perjalanan jilid-jilid selanjutnya tidak pernah terbit,
meskipun konon naskahnya sudah disiapkan penyairnya.
Kirdjomuljo
juga menulis banyak drama. Yang pernah terbit menjadi buku hanya satu yaitu
yang berjudul ‘Nona Maryam’ yang diterbitkan dalam satu jilid dengan drama buah
tangan W.S. Rendra berjudul Orang-orang
di Tikungan Jalanan (1955). Dua tiga buah lagi pernah dimuat dalam majalah
Budaya Yogyakarta, diantaranya Penggali
Intan (1957).
Belakangan ini Kirdjomuljo pun ada menulis cerpen dan roman, yang sudah terbit berjudul Cahaya di Mata Emi (1968) dan Di Saat Rambutnya Terurai (1968) yang sangat lamban benar gayanya.
e. Hatojo Andangdjaya
Hatojo Andangdjaya (lahir di Solo tanggal 4 Juli 1930), mengumumkan sajak-sajaknya dalam majalah-majalah terkemuka di Jakarta dan kota-kota lain. Ia pun banyak menerjemahkan sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia, antaranya Tukang kebun buah tangan penyair India Rabindranath Tagore.
SONNET BUAT IKA
Siapakah kau, mengikuti daku dari bukit ke bukit.
tidakkah tahu, dari puncak ni tinggal nampak gugusan alit
rumah yang duli berkilau
kebun yang dulu menghijau
Pulanglah. Jangan lagi kau bisiki suatu kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
manangkap nyanyian indah
memburu mimpi putih di pagi merah
Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, dibukit lain itu
biru puncak memanggil daku
Pulanglah, Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kekasihmu.
(Dari
Gelanggang/siasat 1945)
f. M. Hussyn Umar
M. Hussyn Umar lahir di Medan tanggal 21 Janurai 1931. Selain menulis sajak, banyak menulis cerpen dan drama radio.
SENJA DI TANAH ABANG
Untuk
Ati
Lusuh kaki membawa daki
bukan jalan-jalan, bukan leha-leha, tapi lari
lari dokar, lari trem, lari beca
abang-abang buru-buru mencari rumah dan jalan-jalannya
ada yang menghindar kelam
atau ada yang datang menyongsong malam
Di gerbong kosong, dengkul jembatan
aku cium bau orang-mayat terdampar yang enggan mati
aku lihat kafilah bangkai-bangkai hidup
hanyut tergayut-gayut di aliran pergi penuh daki
yang penuh penuh matahari lemah pudar bertolak ini
dari pusat satu hari kekalahan yang bertubi-tubi
pelan-pelan sekarang memadu lagu : suara kendang
tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking
dan baunya yang memaksa datang harapan-harapan yang enggan
dan malam ini pun sinah akan berdanda lagi
mengibar bendera yang aus bolong dalam pengakuan
Lusuh kaki masih menghadap daki
Matahari menjanjikan satu hari lagi
satu hari lagi
yang tidak buat mati, tidak buat mimpi
untuk cari,
untu lari, untuk ...................
(Dari
Zenit, 1953)
g. Surachman R.M.
Surachman R.M.
(lahir di Cibatu, Garut, 19 September 1936) sajak-sajaknya menunjukkan
perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial. Ia terkenal pula sebagai
penulis yang banyak menulis sajak dalam bahasa daerahnya, bahasa Sunda.
Kumpulan sajaknya berbahasa Sunda telah terbit berjudul Surat Kayas (1968).
MENGAPA HARUS GELISAH
Mengapa harus gelisah, saudara
mengapa kita harus gelisah
Hujan tumpah terus-terusan
Beban ancaman menekan
Bencana tetap berulang. Saudara
bencana bekal tetap berulang
Di satu subuh tanggul bedah
Air menampar atap rumah
Ditenung jadi lautan, sudara
ditenung daratan jadi lautan
Ke mana larinya binatang weluku
(pedoman kita sepanjang waktu)
Tak Bisa Kita Mengeluh, Saudara
tak bisa lagi kita mengeluh,
Bila Ternak Terseret hanyut
Benda Tak Sempat Terangkut
Sumbangan Hilang Di Jalan, Saudara
sumbangan sering hilang di jalan
Percuma Saja Orang Dermakan
Beras, Selimut, Obat-obatan
Kami Tahan Lapar Dan Dingin, Saudara
kami coba tahan lapar dan dingin
Namun Si Bungsu Kupu Biru
Dan Abangnya Belum Ketemu
Siapa jadinya yang salah, saudara
siapa lagi jadinya yang salah
Tiap musim kami beramai-ramai
Dikerahkan menambal tanggul sungai
(Dari Horison, 1966)
h. Ayatrohaedi
Ayatrohaedi lahir
di Jatiwangi, Majalengka, pada tanggal 5 Desember 1939. Menulis sajak-sajak dan
cerpen-cerpen, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sudan, ia pun seorang penyair
yang banyak menyanyaikan tanah kelahiran, ibunda, dan segala yang dekat dengan
hidupnya.
IBU
teduh tanjung wangi jadi pusat rindu
teduh ibu perbawa pantang menundung
jika di dunia cumalah ibu dan bapa
akan bisa kukuasai seluruh jagat raya
tapi ibu sebelum aku pergi memperingati
jika hidup cuma melepas nafsu sendiri
akhirnya lupa pada ibunda
menyesal menunggu balik ke asal
menyesallah yang jadi cucuku tunggal
(Dari
Siasat Baru, 1959).
Sajak yang berjudul ‘Di kebun Binatang’ yang ditulisnya dalam bahasa Sunda telah menyebabkan Ayatrohaedi mendapat Hadiah Sastra Piagam Moh. Ambri 1966. Dalam bahasa Sunda, Ayatruhaedi telah menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Hujan Munggaran (1960) dan sebuah roman pendek berjudul Kobogoh Tere (1967). Cerpen-cerpennya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam seri proyek 16 halaman balai Pustaka, antara lain Warisan (1964) dan Yang Tersisih (1964).
6. Drama
Setelah
beberapa tahun lamanya penulisan drama Indonesia hampir-hampir hanya mengenal
Utuy. T. Sontani sebagai tokoh tunggal, menjelang akhir tahun 50-an munculah
beberapa nama baru dalam penulisan drama Indonesia, seperti Motinggo Boesje,
W.S.Rendra dan Kirdjomuljo.
Untuk tahun 1958 diumumkan tiga orang penulis yang drama-dramanya mendapat hadiah dalam sebuah sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh bagian kesenian P.P. dan K. yang mendapat hadiah pertama adalah Motinggo Boesje untuk dramanya Malam Jahanam. Kedua, M. Jusa Biran untuk dramanya Oung Besar, dan yang ketiga Nasjah Djamin dengan dramanya Sekelumit Nyanyian Sunda.
a. Nasjah Djamin
Nasjah
Djamin lahir di Medan tahun 1924, tetapi hidupnya kebanyakan dihabiskannya di
Yogya. Meski ia sudah mulai menulis (sajak) pada awal revolusi fisik, namun
sampai awal tahun 50-an ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada seni
lukis dari pada sebagai penulis.
Drama
‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ kemudian diterbitkan bersama dengan dramanya ‘Titik-titik
Hitam’ dengan judul Sekelumit Nyanyian
Sunda (1964). Drama lain yang ditulisnya berjudul Jembatan Gondolayu (dimuat dalam majalah Budaya) Sekelumit Nyanyian Sunda asalnya
merupakan sebuah cerpen yang kemudian dikerjakan menjadi drama dan dibukukan
tahun 1962 dengan judul yang sama. Kumpulan cerpennya yang lain berjudul Di bawah Kaki Pak Dirman (1967). Dalam cerpennya
Nasjah banyak bertindak sebagai juru bicara kesenian dan seniman modern yang
hidup bohemien dan menimbulkan berbagai ketegangan dengan sekelilingnya karena
perbedaan visa dan ukuran nilai.
Selain itu Nasjah juga menulis roman seperti Hilanglah Si Anak Hilang (1963). Roman ini menceritakan perjuangan seorang pelukis individualis yang hilang dari lingkungan keluarga karena menemukan konflik mengenai nilai-nilai moral dan kebenaran. Romannya yang lain berjudul Helai-helai Sakura Gugur (1964), Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (1968) dan Malam Kuala Lumpur (1968).
b. H. M. Jusa Biran
Nama
lengkapnya Hadji Misbach Jusa Biran, lahir di Rangkasbitung tahun 1933, ia
terkenal mula-mula karena sketsa-sketsanya tentang kehidupan “Seniman Senin” yang
dimuat dalam majalah Aneka tahun 50-an, ketika itu ia sudah bergerak dalam
lapangan perfilman. Dengan menggunakan nama samaran Ardjawi, ia pun beberapa
lamanya mengisi ruangan ‘Komedi di Jakarta’ dalam edisi Minggu Harian Abadi,
melukiskan kehidupan sehari-hari rakyat Jakarta. Dari sketsa-sketsa inilah
kemudian ia menulis cerita yang dibuat Film, “Ardjawi ke Ibukota”.
Dramanya
Oung Besar mengisahkan seorang tokoh
politik yang terkenal sebagai Oung Besar yang sebenarnya bernama Karim, ia
mendapat sukses karena pidato-pidatonya yang ia sendiri tdak mengerti isinya,
keseluruhannya komedi ini merupakan sebuah sindiran terhadap kehidupan politik
dan kaum politis Indonesia, ini menunjukkan bahwa ia seorang yang punya humor
yang hidup.
Setelah itu Misbach masih menulis beberapa buah drama lagi, di antaranya berjudul Setelah Jam Menjelang Maut (1968) yang pernah dimainkan dimuka Televisi. Romannya Menyusuri Jejak Berdarah (1968) merupakan penulisan dari cerita film yang juga telah dibuatnya sendiri.
c. N.H. Dini
N.H.
Dini nama lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang tanggal 29 Februari
1936. Mulai menulis cerpen-cepen yang dimuat dalam majalah Kisah dan lain-lain.
Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada
soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh
wanita Dini ialah manusia-manusia yang berontak karena hendak memperjuangkan
harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen ‘Dua Dunia’ dikisahkan Dini tentang
Iswanti seorang janda muda yang sakit tipus yang diceraikan suaminya karena si
suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama dengan
beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956)
Dalam
cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap
kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi di sekelilingnya.
Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung’.
Setelah
terbit dengan kumpulan cerpen itu, Dini kemudian menerbitkn sebuah roman pendek
berjudul Hati Yang Damai (1961).
Ceritanya tentang seorang isteri penerbang yang ketika suaminya mendapat
kecelakaan lalu terlibat dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia menemukan
kedamain dan keluasan hati suaminya.
Dini
kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. dan ketika mengkuti suaminya
bertugas di Jepang ia menulis sebuah roman yang berjudul Namaku Hiroko, setelah dari Jepang ia mengikuti suaminya ke
Perancis yang berjudul Pada Sebuah Kapal, yang diumumkan pada majalah-majalah
sastra dan Horison, naskah roman lain yang sudah diselesaikannya berjudul La Barka.
Kecuali N.H. Dini pada periode ini kita pun
mencatat beberapa pengarang wanita lain Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan
Hartini ialah para penulis cerpen yang dimuat dalam majalah. Tetapi sebegitu
jauh belum ada data-data untuk mencatat kegiatan mereka lebih daripada menyebut
nama-namanya saja.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
M. Shoim. 2013. Sejarah Sastra Indonesia.
Sidoarjo: Media Ilmu
Rosidi,
Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
_________.
1998. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia.
Bandung: Bina Cipta.