Jumat, 27 November 2020

PERIODESASI SASTRA – BAGIAN III (PERIODESASI SASTRA TAHUN 1953-1961)

 

PERIODESASI SASTRA – BAGIAN III (KETIGA)
(PERIODESASI SASTRA TAHUN 1953-1961)



Gambar 1 - Periodesasi Sastra Tahun 1953-1961

Sebelumnya sudah dibahas materi mengenai Periode 1945-1953. Pada materi kali ini akan dibahas mengenai Periode 1953-1961.

II. Periode 1953-1961

1.    Krisis Sastra Indonesia

Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang”. Dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.

Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sutan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim, dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse” (kemacetan) dan “Krisis Sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa Konfrontasi”. Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perseorangan semata-mata” roman-roman besar tak ada ditulis.

Karangan Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri seperti: Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya judul “Kesusastraan Indonesia Modern Tidak Ada Krisis” dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.

Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse Sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka). Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.

Sitor Sitomorang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jassin dalam majalah mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.


2. Sastra Majalah

Sejak tahun 1953 balai pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Demikian pula penerbit Pustaka Rakyat yang tadinya disamping balai pustaka merupakan penerbit nasional yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai kesukaran begitu juga dengan penerbitan buku lainnya seperti pembangunan, dan lainnya.

Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang atau Siasat, Mimbar Indonesia, Zhenit, Pujangga Baru, dan lain-lain. Karena sifatnya majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama adalah yang berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah Sastra Majalah. Istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nugroho Notosusanto yang dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.

Berbeda dengan para pengarang Punjangga Baru dan Angkatan 45, para pengarang Periode 50 ini lebih menitikberatkan pada penciptaan, hal ini berhubungan juga tentu dengan kurangnya pengetahuan mereka pada saat itu. Baru kemudian setelah berkesempatan menambah pengetahuan pula, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya.

Dalam hal ini peranan majalah Kisah (1953-1956), tidak bisa dibilang kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini atau banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majalah Kisah.

Di samping itu, patut juga disebut majalah mahasiswa Kompas yang setelah dipimpin oleh Nugroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra, majalah Prosa pimpinan Ajip Rosidi yang hanya terbit nomor, ruangan kebudayaan genta dalam majalah merdeka yang diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah seni (terbit hanya setahun) majalah Konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah budaya (terbit di Yogyakarta) dan beberapa majalah lain, disamping majalah-majalah yang sudah lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang atau Siasat Indonesia.

Termasuk kepada para pengarang dari periode ini antara Nugroho Notosusanto, M. Hussyn Umar, Toto.S.Bachtiar, W.S.Wendra, N.H. Dini Subagio Sastrowardoyo, Trisnoyuono, S.M. Ardan, Rajino Paratikro, A.A. Navis, Sukanto. S.A, Iwan Simatupang. 


3. Beberapa Pengarang 

a. Nugroho Notosusanto

Nugroho Notosusanto terkenal sebagi penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tidak merasa mendapat kepuasaan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.

Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen. Kumulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958). kemudian disusul oleh Tiga Kota (1959). Kumpulan cerpennya yang ketika berjudul Rasa Sajange (1963) yang antara lain memuat cerpannya yang paling berhasil berjudul “Jembatan”.

Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah. Ia menjadi kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel tituler, kemudian brigader jenderal.

Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Nugroho salah seorang di antara yang muda-muda ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba mengalami situasi zamannya. Terutama tentang sastra dan kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan tentang cerita pendek. 


b. A. A. Navis

A.A. Navis lebih tepat digolongkan kepada Angakatan ‘45. Ia lahir di Padang Panjang, 17 November 1924. Ia baru muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama sekaligus menjadi terkenal berjudul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini kemudian diterbitkan bersama-sama dengan beberapa buah cerpen lain dengan judul Robohnya Surai Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa tahun kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada cerpen-cerpen baru ditambahkan, tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.

Kumpulan cerpen Navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964). Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial psikologis yang luas. Navis banyak mengkritik orang-orang yang melakukan syari’at agama (Islam) secara membuta dan taklid saja, karena menurut dia Islam harus dihayati secara rasional dan penuh prikemanusiaan.

Kecuali menulis cerpen, Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967). Juga dalam roman ini masalah agama dan pelaksanaannya mendapat sorotan pengarang secara tajam. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut sebagai seorang pengarang Islam. 


c. Trisnoyuwono

Trisnoyuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Kumpulan cerpennya yang pertama Laki-laki dan Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN tahun 1957-1958. Cerpen-cerpen Trisnoyuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu meyakinkan. Kumpulan cerpennya yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya lebih baik. Terutama cerpen “Di Medan Perang” yang dijadikan judul kumpulan ini sangat kuat dan mengesan. Tak kelirulah kalau cerpen ini juga dianggap sebagai cerpennya terakhir ialah Kisah-kisah Revolusi (1965),

Salah sebuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan Mesiu Kemudian dikerjakannya menjadi sebuah roman, judulnya sama dengan judul roman cerpen asalnya, yaitu Pagar Kawat Berduri (1962). Roman ini dibuat film oleh Asrul Sani sebagai sutradara dan roman ini telah pula menyebabkan Trisnoyuwono mendapat Hadiah Sastra Yamin.

Di samping itu Trisnoyuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963), dan lain-lain.


d. Iwan Simatupang

Iwan Simatupang lahir di Sibolga pada tanggal 18 Januari 1928, mula-mula menulis sajak, kemudian esai. Cerpen-cerpen, drama-drama, juga roman-roman yang ditulisnya, tidaklah terikat oleh logika, plot, dan perwatakan yang biasa. Drama Absurd Eugene Lonesco dan lain-lainnya yang sesudah Perang Dunia kedua mendapat perhatian yang besar bukan saja di Eropa. Di antara drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian dimuat dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul “Bulan Bujur Sangkar’, “Taman’, RT Nol/RW Nol’.

Di antara cerpen-cerpennya patut disebut ‘Lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959) sebagai sebuah cerpen yang baik sekali menyelam ke gua dasar jiwa manusia, mencari kebenaran antara sadar dan tak sadar.

Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa di antaranya berjudul Ziarah, Kering, dan Merahnya Merah (1968). Yang menonjol dalam roman-roman (dan juga cerpen-cerpen, esai dan drama-dramanya) ialah gayanya yang padat.


e.  Toha Mohtar

Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah sastra atau kebudayaan) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha Mohtar. Ia mengejutkan dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul Pulang (1958). Roman ini mendapat hadiah sastra nasional BMKN tahun 1958.

Sebagai roman, Pulang sangat sederhana, tetapi justru karena kesederhanaannya maka ia terasa jernih bening setelah penulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangan di Surabaya ketika para pemuda mempertahankannya dari serbuan tentara sekutu. Roman ini tidaklah menandingi Pulang yang ditulisnya lebih dahulu. Belakangan terbit pula romannya yang lain yang berjudul Bukan Karena Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).


f. Subagio Sastrowardojo

Subagio Sastrowardojo lebih dikenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama merupakan kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul Kejantanan di Sumbing (1965).

Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. ‘Perawan Tua’ merupakan salah sebuah prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.


g. Motinggo Boesje

Motinggo Boesje lahir di Kupang, kota Lampung, 12 November 1937. Buku yang ditulis dan diterbitkannya berupa roman-roman. Ia pun menulis cerpen dan drama. Drama-drama yang ditulisnya umumnya berbentuk novela mengikuti cara penulisan drama Utuy T. Sontani.

Dengan drama pula Motinggo pertama kali menarik perhatian orang kepadanya. Ketika ia mendapat hadiah dalam sayembara penulisan drama yang diadakan tahun 1958. Dramanya Malam Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama lainnya yang ditulis kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya dan Nyonya (1962), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963) dan lain-lain. Sebelum menulis drama, Motinggo menulis cerpen dan sajak. Cerpennya kemudian dibukukan antara lain Dalam Keberanian Manusia (1962), Nasehat Untuk Anakku (1963), Matahari Dalam Kelam (1963) dan lain-lain.

Kemudan yang secara manakjubkan tak habis-habisnya ditulis Motinggo ialah roman. Diantaranya Tidak Menyerah (1962) merupakan cerita menarik yang secara simbolik melukiskan tentang palimo pemburu tua yang kesepian pantang menyerah kepada harimau tua yang mengganas di kampungnya. Sejuta Matahari (1963); Mengungkapkan Suatu Persoalan Sosial 1944 (1962) merupakan roman sebuah revolusi. Masih banyak lagi roman-roman Motinggo yang lain. Misalnya Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (sebuah roman pendek, 1963), Batu Serampok (juga sebuah legenda, (1963), Titisan Dosa di atasnya (1964), Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama barabah (1963), Dia Musuh Keluarga (1968), dan lain-lain.


4. Para Pengarang Lain

a. Rijono Pratikto

               Lahir di Tegal tanggal 27 Agustus 1932. Telah mulai menulis sejak masih duduk di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Rijono merupakan pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen permulaannya kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1951). Cerpen-cerpennya kemudian mendapat ciri sebagai ‘cerita-cerita serem’. Cerpen semacam ini dibukukan dalam Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek lain (1958). Karangan-karangan Rijono yang masih tersimpan antara lain fragmen roman dalam persiapan seperti ‘Gua’ (dalam Indonesia), ‘Dua Manusia Sepanjang Bukit’ (dalam Gelanggang/Siasat) dan lain-lain.

                    b. S. M. Ardan

             Nama sebenarnya Sjahmardan. Lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932. Mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai, serta kritik sastra. Sajaknya dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit berjudul Ketemu di Jalan (1956). Cerpennya melukiskan kehidupan masyarakat rendah Jakarta dikumpulkan dalam buku Terang Bulan Terang di Kali (1955). Ardan menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan roman yaitu Nyai Dasima (1965).

                 c. Sukanto S.A.; 

                 Lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen. Tetapi sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958).

                d. Alexandre Leo

              Merupakan nama samara. Nama sebenarnya Zulkarnain. Lahir di Lahat tanggal 19 Agustus 1934. Menulis cerpen dikumpulkannya menjadi buku berjudul Orang yang Kembali (1956). Ia pun menulis serangkaian satira (cerita sindiran) tentang ‘Kisah-Kisah dari Negeri Kambing’. Tahun 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul Mendung yang disebutnya “sebuah novela suka duka cerita sebuah rumah tangga”.

                 e. Bokor Hutasuhut

                 Lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934. Cerpen-cerpen yang dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1960). Ia pun menerbitkan dua buah roman yaitu Penakluk Ujung Dunia (1964), dan Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung Dunia dikerjakannya kembali dari sebuah cerita rakyat Batak, Tanah Kesayangan merupakan sebuah roman yang mengambil zaman penjajahan Jepang sebagai latar belakangnya


                5. Beberapa Penyair

                a. Toto Sudarto Bachtiar

Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Paliman, Cirebon, tanggal 12 Oktober 1929) telah mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal “Ibukota Senja” ditulisnya tahun 1951. Sebagian besar sajak-sajaknya telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi dua buah buku, masing-masing berjudul Suara (1956) dan Etsa (1958). “Kumpulan Sajak 1950-1955” telah menyebabkan penyairnya mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN sebagai penyair terbaik tahun 1955-1956. Sebagai penyair ia senantiasa merindukan kemerdekaan yang disebutnya ‘tanah air dan laut semua suara’ dan ‘ tanah air penyair dan pengembara’.

Dalam sajaknya yang berjudul ‘Keterangan’ ia merasa perlu memberi penjelasan kepada H.B. Jassin kritikus sastra terkemuka, bahwa kuburan penyair “Hanyalah nisan kata-katanya selama ini/Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur,...”, tulisannya hanya nasib jari yang lemah”...” Tanpa merasa tahu tentang apa/Dia menyeret langkahnya/Sampai di mana dia akan tiba/Tetapi dengan jari kakinya ditulisnya sebuah sajak.

Kepada Chairil Anwar ia merasa perlu membuat pernyataan; Aku makin menjauh/dari tempatmu berkata kesekian kali/Laut-laut makin terbuka/Di bawah langit remaja biru pengap melanda’ (dalam sajak berjudul ‘Pernyataan’).

Kepada penyair perancis Guillaume Apolllinaire (1880-1918) ia berkata: “Ya Guillaume, tak apa kita bercinta/Tak putus-putus, asal rindu dendamnya/Aku waspada juga pada tangan waktu/Pada khianat yang mencekikku bila ‘ku alpa’.....”.

Dalam sajaknya ‘Pahlawan Tak Dikenal’ ia melukiskan seorang pemuda yang gugur tertembak pada hari ‘pahlawan tanpa mengetahui untuk apa’.

Toto banyak sekali menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen atau karangan-karangan lain ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari terjemahan-terjemahan cerpennya dikumpulkan dalam Bunglon (1965) yang antara lain memuat cerpen-cerpen buah tangan Anton Chekhov, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, dan lain-lain.


b. W.S. Rendra

Nama lengkapnya Wilibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7 November 1935) ialah penyair Indonesia terpenting pada masa ini.

Sajak-sajaknya yang permulaan, tampak pengaruh nyanyian-nyanyian dolanan kanak-kanak Jawa dan pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia (1899-1936) yang pada tahun-tahuin itu banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K.H.

Kemudian sajak-sajaknya yang permulaan itu dimuat dalam buku kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Balada Orang-Orang Tercinta (1957). Rendra mendapat hadiah sastra nasional untuk puisi tahun 1955-1956 sebagai salah seorang penyair terbaik.

Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan itu berjudul “Terbunuhnya Atmo Karpo”.

Sajak-sajaknya sebagian telah diterbitkan dalam Rendra: 4 Kumpulan Sajak (1961), yaitu yang terkumpul dalam “Kakawin-Kawin’, ‘Malam Stanza’, ‘Nyanyian dari Jalanan’ dan Sajak-Sajak Dua Belas Perak’. Sajak-sajak yang ditulisnya selama ia di Amerika kian menunjukkan kematangan dan kesederhanaan pengucapannya, antara lain ‘Nyanyian Angsa’, Khotbah’, ‘Bluess untuk Bonnie, dan lain-lain.

Selain menulis sajak, Rendra pun menulis cerpen. Diterbitkan dalam sebuah kumpulan berjudul Ia Sudah Bertulang (1963). Juga banyak bergerak di lapangan drama. Ia bertindak sebagai sutradara, pemain dan banyak pula menulis drama-drama asli dan menerjemahkan drama-drama asing untuk dimainkannya. Ia telah menerjemahkan kata penulis drama klasik Yunani Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus San raja, karya pengarang drama Irlandia Bernard Shwa berjudul Arms and the Man, dari pengarang drama Prancis kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908) berjudul Kereta Kencana, dari pengarang Jerman Bertold Brecht (lahir 1890) beberapa drama pendeknya dan lain-lain.


c. Ramadhan  K.H.

Lengkapnya Ramadhan Kartahadimadja lahir di Bandung 16 Maret 1927. Baru tampil namanya sebagai penulis sekitar tahun 1952. Mula-mula menulis cerpen, kemudian menulis sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa memperkenalkan sajak-sajak dan drama-drama Federico Garcia Lorca ke dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol. Karya-karya penting Lorca sudah diterjemahkannya semua. Yang sudah terbit dramanya Yerman Saja (1959). Yang lain-lain diumumkan dalam majalah saja, antaranya drama ‘Rumah Bernada Alba’ dalam majalah Indonesia dan buku-buku sajak-sajak Lorca terpenting seperti Cancioes dan Romancero Gitano.

Sajaknya sendiri ditulisnya ketika ia baru pulang dari Spanyol, dan dibukukan dengan judul Priangan Si Jelita (1958). Untuk buku itu ia mendapat hadiah sastra nasional dari BKMN tahun 1957-1958 untuk puisi Dendang Sayang

DENDANG SAYANG
I
Di Cikajang ada gunung
Lembah lenggang nyobek hati,
Bintang pahlawan di dada,
Sepi di atas belati,
Kembang rampe di kuburuan
Selalu jauh kekasih

Romannya berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI UNESCO tahun 1968.


 d. Kirdjomuljo

Kirdjomuljo lahir di Yogyakarta tahun 1930 ialah salah seorang penyair Indonesia yang banyak sekali menulis sajak. Tahun 1953-1956 banyak di antaranya yang dimuat dalam majalah-majalah. Tahun 1955 terbit buku kumpulan sajaknya berjudul Romance Perjalan I. Romance Perjalanan jilid-jilid selanjutnya tidak pernah terbit, meskipun konon naskahnya sudah disiapkan penyairnya.

Kirdjomuljo juga menulis banyak drama. Yang pernah terbit menjadi buku hanya satu yaitu yang berjudul ‘Nona Maryam’ yang diterbitkan dalam satu jilid dengan drama buah tangan W.S. Rendra berjudul Orang-orang di Tikungan Jalanan (1955). Dua tiga buah lagi pernah dimuat dalam majalah Budaya Yogyakarta, diantaranya Penggali Intan (1957).

Belakangan ini Kirdjomuljo pun ada menulis cerpen dan roman, yang sudah terbit berjudul Cahaya di Mata Emi (1968) dan Di Saat Rambutnya Terurai (1968) yang sangat lamban benar gayanya.


 e. Hatojo Andangdjaya

Hatojo Andangdjaya (lahir di Solo tanggal 4 Juli 1930), mengumumkan sajak-sajaknya dalam majalah-majalah terkemuka di Jakarta dan kota-kota lain. Ia pun banyak menerjemahkan sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia, antaranya Tukang kebun buah tangan penyair India Rabindranath Tagore.

SONNET BUAT IKA

Siapakah kau, mengikuti daku dari bukit ke bukit.
tidakkah tahu, dari puncak ni tinggal nampak gugusan alit
rumah yang duli berkilau
kebun yang dulu menghijau

Pulanglah. Jangan lagi kau bisiki suatu kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
manangkap nyanyian indah
memburu mimpi putih di pagi merah

Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, dibukit lain itu
biru puncak memanggil daku

Pulanglah, Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kekasihmu.
(Dari Gelanggang/siasat 1945)

 

f. M. Hussyn Umar

M. Hussyn Umar lahir di Medan tanggal 21 Janurai 1931. Selain menulis sajak, banyak menulis cerpen dan drama radio.

SENJA DI TANAH ABANG

Untuk Ati
Lusuh kaki membawa daki
bukan jalan-jalan, bukan leha-leha, tapi lari
lari dokar, lari trem, lari beca
abang-abang buru-buru mencari rumah dan jalan-jalannya
ada yang menghindar kelam
atau ada yang datang menyongsong malam

Di gerbong kosong, dengkul jembatan
aku cium bau orang-mayat terdampar yang enggan mati
aku lihat kafilah bangkai-bangkai hidup
hanyut tergayut-gayut di aliran pergi penuh daki
yang penuh penuh matahari lemah pudar bertolak ini
dari pusat satu hari kekalahan yang bertubi-tubi
pelan-pelan sekarang memadu lagu : suara kendang
tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking
dan baunya yang memaksa datang harapan-harapan yang enggan
dan malam ini pun sinah akan berdanda lagi
mengibar bendera yang aus bolong dalam pengakuan

Lusuh kaki masih menghadap daki
Matahari menjanjikan satu hari lagi
satu hari lagi
yang tidak buat mati, tidak buat mimpi
untuk cari,
untu lari, untuk ...................
(Dari Zenit, 1953)


g. Surachman R.M.

Surachman R.M. (lahir di Cibatu, Garut, 19 September 1936) sajak-sajaknya menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial. Ia terkenal pula sebagai penulis yang banyak menulis sajak dalam bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya berbahasa Sunda telah terbit berjudul Surat Kayas (1968).


MENGAPA HARUS GELISAH

Mengapa harus gelisah, saudara
mengapa kita harus gelisah
Hujan tumpah terus-terusan
Beban ancaman menekan

Bencana tetap berulang. Saudara
bencana bekal tetap berulang
Di satu subuh tanggul bedah
Air menampar atap rumah

Ditenung jadi lautan, sudara
ditenung daratan jadi lautan
Ke mana larinya binatang weluku
(pedoman kita sepanjang waktu)

Tak Bisa Kita Mengeluh, Saudara
tak bisa lagi kita mengeluh,
Bila Ternak Terseret hanyut
Benda Tak Sempat Terangkut

Sumbangan Hilang Di Jalan, Saudara
sumbangan sering hilang di jalan
Percuma Saja Orang Dermakan
Beras, Selimut, Obat-obatan

Kami Tahan Lapar Dan Dingin, Saudara
kami coba tahan lapar dan dingin
Namun Si Bungsu Kupu Biru
Dan Abangnya Belum Ketemu

Siapa jadinya yang salah, saudara
siapa lagi jadinya yang salah
Tiap musim kami beramai-ramai
Dikerahkan menambal tanggul sungai
(Dari Horison, 1966)


h. Ayatrohaedi

Ayatrohaedi lahir di Jatiwangi, Majalengka, pada tanggal 5 Desember 1939. Menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sudan, ia pun seorang penyair yang banyak menyanyaikan tanah kelahiran, ibunda, dan segala yang dekat dengan hidupnya.


IBU

teduh tanjung wangi jadi pusat rindu
teduh ibu perbawa pantang menundung
jika di dunia cumalah ibu dan bapa
akan bisa kukuasai seluruh jagat raya
tapi ibu sebelum aku pergi memperingati
jika hidup cuma melepas nafsu sendiri
akhirnya lupa pada ibunda
menyesal menunggu balik ke asal
menyesallah yang jadi cucuku tunggal
(Dari Siasat Baru, 1959).

 

Sajak yang berjudul ‘Di kebun Binatang’ yang ditulisnya dalam bahasa Sunda telah menyebabkan Ayatrohaedi mendapat Hadiah Sastra Piagam Moh. Ambri 1966. Dalam bahasa Sunda, Ayatruhaedi telah menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Hujan Munggaran (1960) dan sebuah roman pendek berjudul Kobogoh Tere (1967). Cerpen-cerpennya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam seri proyek 16 halaman balai Pustaka, antara lain Warisan (1964) dan Yang Tersisih (1964).


6. Drama

Setelah beberapa tahun lamanya penulisan drama Indonesia hampir-hampir hanya mengenal Utuy. T. Sontani sebagai tokoh tunggal, menjelang akhir tahun 50-an munculah beberapa nama baru dalam penulisan drama Indonesia, seperti Motinggo Boesje, W.S.Rendra dan Kirdjomuljo.

Untuk tahun 1958 diumumkan tiga orang penulis yang drama-dramanya mendapat hadiah dalam sebuah sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh bagian kesenian P.P. dan K. yang mendapat hadiah pertama adalah Motinggo Boesje untuk dramanya Malam Jahanam. Kedua, M. Jusa Biran untuk dramanya Oung Besar, dan yang ketiga Nasjah Djamin dengan dramanya Sekelumit Nyanyian Sunda.


a. Nasjah Djamin

Nasjah Djamin lahir di Medan tahun 1924, tetapi hidupnya kebanyakan dihabiskannya di Yogya. Meski ia sudah mulai menulis (sajak) pada awal revolusi fisik, namun sampai awal tahun 50-an ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada seni lukis dari pada sebagai penulis.

Drama ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ kemudian diterbitkan bersama dengan dramanya ‘Titik-titik Hitam’ dengan judul Sekelumit Nyanyian Sunda (1964). Drama lain yang ditulisnya berjudul Jembatan Gondolayu (dimuat dalam majalah Budaya) Sekelumit Nyanyian Sunda asalnya merupakan sebuah cerpen yang kemudian dikerjakan menjadi drama dan dibukukan tahun 1962 dengan judul yang sama. Kumpulan cerpennya yang lain berjudul Di bawah Kaki Pak Dirman (1967). Dalam cerpennya Nasjah banyak bertindak sebagai juru bicara kesenian dan seniman modern yang hidup bohemien dan menimbulkan berbagai ketegangan dengan sekelilingnya karena perbedaan visa dan ukuran nilai.

Selain itu Nasjah juga menulis roman seperti Hilanglah Si Anak Hilang (1963). Roman ini menceritakan perjuangan seorang pelukis individualis yang hilang dari lingkungan keluarga karena menemukan konflik mengenai nilai-nilai moral dan kebenaran. Romannya yang lain berjudul Helai-helai Sakura Gugur (1964), Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (1968) dan Malam Kuala Lumpur (1968).


b. H. M. Jusa Biran

Nama lengkapnya Hadji Misbach Jusa Biran, lahir di Rangkasbitung tahun 1933, ia terkenal mula-mula karena sketsa-sketsanya tentang kehidupan “Seniman Senin” yang dimuat dalam majalah Aneka tahun 50-an, ketika itu ia sudah bergerak dalam lapangan perfilman. Dengan menggunakan nama samaran Ardjawi, ia pun beberapa lamanya mengisi ruangan ‘Komedi di Jakarta’ dalam edisi Minggu Harian Abadi, melukiskan kehidupan sehari-hari rakyat Jakarta. Dari sketsa-sketsa inilah kemudian ia menulis cerita yang dibuat Film, “Ardjawi ke Ibukota”.

Dramanya Oung Besar mengisahkan seorang tokoh politik yang terkenal sebagai Oung Besar yang sebenarnya bernama Karim, ia mendapat sukses karena pidato-pidatonya yang ia sendiri tdak mengerti isinya, keseluruhannya komedi ini merupakan sebuah sindiran terhadap kehidupan politik dan kaum politis Indonesia, ini menunjukkan bahwa ia seorang yang punya humor yang hidup.

Setelah itu Misbach masih menulis beberapa buah drama lagi, di antaranya berjudul Setelah Jam Menjelang Maut (1968) yang pernah dimainkan dimuka Televisi. Romannya Menyusuri Jejak Berdarah (1968) merupakan penulisan dari cerita film yang juga telah dibuatnya sendiri.


 c. N.H. Dini

N.H. Dini nama lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang tanggal 29 Februari 1936. Mulai menulis cerpen-cepen yang dimuat dalam majalah Kisah dan lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini ialah manusia-manusia yang berontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen ‘Dua Dunia’ dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tipus yang diceraikan suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956)

Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi di sekelilingnya. Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung’.

Setelah terbit dengan kumpulan cerpen itu, Dini kemudian menerbitkn sebuah roman pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Ceritanya tentang seorang isteri penerbang yang ketika suaminya mendapat kecelakaan lalu terlibat dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia menemukan kedamain dan keluasan hati suaminya.

Dini kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. dan ketika mengkuti suaminya bertugas di Jepang ia menulis sebuah roman yang berjudul Namaku Hiroko, setelah dari Jepang ia mengikuti suaminya ke Perancis yang berjudul Pada Sebuah Kapal, yang diumumkan pada majalah-majalah sastra dan Horison, naskah roman lain yang sudah diselesaikannya berjudul La Barka.

Kecuali N.H. Dini pada periode ini kita pun mencatat beberapa pengarang wanita lain Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan Hartini ialah para penulis cerpen yang dimuat dalam majalah. Tetapi sebegitu jauh belum ada data-data untuk mencatat kegiatan mereka lebih daripada menyebut nama-namanya saja.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M. Shoim. 2013. Sejarah Sastra Indonesia. Sidoarjo: Media Ilmu

Rosidi, Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

_________. 1998. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

Jumat, 13 November 2020

PERIODESASI SASTRA – BAGIAN II (KEDUA) (MASA PERKEMBANGAN TAHUN 1945 HINGGA SEKARANG)

  

PERIODESASI SASTRA – BAGIAN II (KEDUA)

(MASA PERKEMBANGAN TAHUN 1945 HINGGA SEKARANG)


Gambar 1

Masa perkembangan (1945-sekarang) meliputi:
   1. Periode 1945-1953;
   2. Periode 1953-1961; dan
   3. Periode 1961- sekarang.

I. PERIODE 1945-1953

1. Angkatan ‘45

Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang masih mengingatkan kita kepada sastra Melayu. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra.

Chairil Anwar segera mendapat pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang penulisan puisi muncul para penyair Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, P. Sengojo, Dodong Djiwapraja, S. Rukiah, Walujati, Harijadi S.Hartowardoyo, Moch. Ali dan lain-lain. Dalam bidang penulisan prosa, Idrus pun memperkenalkan gaya menyoal-baru yang segera mendapat pengikut luas.

Dengan munculnya kenyataan itu, banyak orang yang berpendapat bahwa sesuatu angkatan kesusastraan baru telah lahir. Pada mulanya angkatan ini disebut Angkatan Sesudah Perang, ada yang menamakannya Angkatan Khairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan dan lain-lain. Pada tahun 1948 Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi.

Tetapi sementara itu, meskipun namanya sudah diperoleh, sendi-sendi dan landasan idealnnya belum lagi dirumuskan. Baru pada tahun 1950, “Surat Kepercayaan Gelanggang“ dibuat dan diumumkan. Ketika itu Khairil Anwar sudah meninggal. Surat kepercayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama “Gelanggang Seniman Merdeka“, yang didirikan tahun 1947.


SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kalau kami bicara tentang kebudyaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai mengilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudyaan baru yang sehat.
……………………………………………………………….
Jakarta 18 Februari 1950

 

Sebegitu banyak yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ’45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ’45 hanyalah lanjutan dari yang sudah dirintis angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru.

Pada tahun 1952, H.B. Jassin mengumumkan sebuah essai berjudul “Angkatan ‘45” yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan ’45. Jassin mengatakatan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan ’45 ini dengan para pengarang Pujanggga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan). Essai itu kemudian diterbitkan dalam kumpulan karangan Jassin berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay (1954).

 

a. Chairil Anwar

Chairil Anwar dilahirkan di Medan tanggal 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai mulo (SMP) dan itu pun tidak tamat kemudian ia belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi.

Dari esai dan sajak-sajaknya jelas sekali ia seorang individualis yang bebas. Dengan berani dan secara demonstratif pula ia menentang sensor Jepang dan itu menyebabkan ia selalu menjadi incaran Kenpetai (polisi rahasia Jepang yang terkenal galak dan kejam).

Sajaknya yang termasyhur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang memberist dan individualis berjudul AKU (di tempat lain diberi judul “Semangat”). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebgai “binatang jalang”, sebutan yang segera menjadi terkenal.

 

AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau.

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa ‘ku bawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Selain seorang individualis, Khairil juga amat mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya Diponegero, Kerawang–Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Siap Sedia, Cerita Buat Dien Tamaela, dan lain-lain.


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali Tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati


Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati

Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Biansa di atas ditindas
Sungguh pun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu

Serang
Terjang

Meskipun dalam beberapa sajaknya ia sering seolah-olah sinis mengejek nili-nilai moral, termasuk nilai-niai agama, sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Sajaknya yang berjudul Doa menunjukkan perasaan keagamaan yang mendalam. 


DO’A
Kepada Pemeluk Teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu

Biar sudah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.

Sajak-sajak Khairil merupakan renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan, lukisan perasaan manusia, cinta-kasih, berahi, dan lain-lain. Beberapa sajaknya sangat romantis sepeti Tuti Artic, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain. Dalam sajak Sorga ia sangat sinis mengejek manusia-manusia yang membayangkan sorga dalam ukuran duniawi.

Masih ketika ia hidup, telah timbul heboh karena sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang Dara yang diumumkan lam majalah Mimbar Indonesia atas namanya ternyata plagiat dari sajak Hsu Chih Mo berjudul A Song of Sea. Tatkala sudah meninggal, heboh tentang plagiat ini timbul lagi karena beberapa sajaknya yang lain ternyata berdasarkan sajak-sajak orang lain tanpa menyebut sumbernya. Sajaknya Kerawang-Bekasi ternyata plagiat dari sajak Archibald MacLeish berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga sajak Kepada Peminta-minta, Rumahku dan lain-lain.

Pada tahun 1948, Chairil Anwar menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana tetapi segera pula ditinggalkannya. Ia tak pernah betah lama-lama kerja di suatu kantor dan pada tahun 1949, tanggal 28 April ia meninggal di RSU Pusat Jakarta karena serangan penyakit tipes dan penyakit lain. Ketika dikuburkan dipemakaman karet masyarakat Jakarta menunjukan perhatian yang besar dengan mengirimkan jenazahnya.

Setelah meninggal sajak-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Luput (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950). Yang terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Avin. Tulisan-utlisan Khairil yang tidak dimuat dalam ketiga kumpulan itu kemudian diterbitkan dengan kata pengantar H.B. Jassin berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Dan sajaknya telah diterjemahkan kedalam bahasa asing di antaranya di dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Rusia, Hindi, dan lain-lain.

 

b. Asrul Sani dan Rivai Apin

Penyair kawan seangkatan Khairil Anwar yang bersama-sama mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka“ ialah Asrul Sani dan Rivai Apin. Ketiga penyair itu biasanya dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Ketiga penyair itu menenrbitkan kumpulaan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950).

Asrul Sani lahir di Riau Sumatera Barat tanggal 10 Juni 1926, ia pertama kali mengumumkan sajak dan karyanya yang lain dalam majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia , tahun 1948.

Asrul Sani seorang sarjana ke Dokteran Hewan yang kemudian menjadi Direktu Akedemi Tater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai DPRGR/MPRS Wakil Seniman.

Sajak-sajak Asrul Sani sangat merdu (melodius). Kata-katanya memberikan citra (image) yang lincah dan segar. Dalam sikap ia seorang moralis yang sangat mencintai dan meratapi manusia dan kemanusiaan. Sajak-sajaknya Mantera dan Surat dari Ibu menunjukkan pandangan hidupnya yang moralis.

 

MANTERA

Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari ke mari!

Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati.

Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa.
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, akan kenal bahagia
Tidak takut pada hitam,
Tiada takut pada kelam
Hitam dan kelam punya aku.
………………………………………

 

Dalam sajak itu dia mengaku bahwa dirinya sebagai “laksamana dari lautan” dan “panglima dari segala burung rajawali yang menutup segala kota sambil menyebarkan api, supaya janda-janda tidak diperkosa” dan supaya “budak-budak tidur di pangkuan bunda.”

Cerpen-cerpen Asrul Sani melukiskan betapa halus perasaannya pada manusia; meluiskan kehidupan manusia yang hanya menyebabkan kemalangan dan penderitaan sendiri. Beberapa cerpen karangan Asrul Sani yang terkenal antara lain yang berjudul “Bola Lampu, Sahabat Saya Cordiaz, Si Penyair Belum Pulang, Perumahan Bagi Fadjria Novari, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat, Museum, Panen “ , dll.

Rivai Apin lahir di Padang Panjang tanggal 30 Agustus 1927. Sajak-sajaknya tidak semerdu sajak-asajak Asrul, tetapi berat dengan masalah yang mau sungguh-sungguh. Sejak masih duduk di sekolah menengah, ia telah mengumumkan sajak-sajak dalam majalah-majalah terkemuka. Ia pernah duduk sebagai anggota redaksi Gema suasana, Gelanggang, dan Zenith. Tahun 1954 ia melaksasnakan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya. Ia keluar dari redaksi Gelanggan dan beberapa waktu kemudian ia masuk kelingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).


c. Idrus

Lahir di Padang tanggal 21 September 1921. Ia pelopor angkatan 45, lulus dari sekolah menengah, ia bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Di sanalah ia mulai menaruh perhatian kepada sastra. Pada zaman Jepang ia menulis beberapa cerita romantik tentang pemuda yang berjuang untuk Asia Timur Raya seperti Ave Maria dan dramanya Kejahatan Membalas Dendam. Tapi, ketika melihat kesengsaraan dan kemelaratan rakyat di bawah kaki Nippon, ia meninggalkan cerita romantik, dan mulai menuliskan cerita-cerita yang melukiskan realitas kehidupan sehari-hari. Sesudah masa revolusi tulisannya diumumkan dengan judul ‘Corat-Coret di Bawah Tanah’. Cerita ini melukiskan tentang kehidupan rakyat di zaman Jepang secara sinis dan kasar. Sikap sinis dan kasarnya diperlihatkan dalam karangannya Surabaya, sampai-sampai ia disebut “Kontra Revolusi “.

Karangan-karanagan itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul ‘Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ (1948). Cerita lainnya adalah Aki (1940) yang merupakan kidah simboliknya dengan maut. Di samping itu ada sebuah sandiwara dengan judul ‘Keluarga Surono’ (1948) terbit di Medan.

Ketika Idrus memimpin majalah kebudayaan bernama Indonesia, Idrus menulis tentang para pengarang antara lain,  “Sutan Takdir Alisyahbana sebagai pengarang roman. Ia juga memuat roman Autobiografisnya berjudul ‘Perempuan dan Kebangsaan’ (1949), tapi roman ini dianggap gagal.

Setelah keluar dari Balai Pustaka ia bekerja di GIA (Garuda Indonesia Airways). Tahun 1953 ia muncul dengan cerpennya dalam majalah Kisah. Di lapangan penerjemahannya ia berjasa telah memperkenalkan pengarang Rusia Anton Chekhov (1883–1923), pengaran Belgia William Elsshot (1882) dll. Kemudian ia pindah ke Kuala Lumpur dan mendirikan perusahaan penerbitan. Buku yang diterbirkannya yaitu, ‘Dengan Mata Terbuka’ (1961), ‘Hati Nurani Manusia’ (1963).

 

d. Achadiat K. Mihardja

Meskipun pada zaman revolusi ia sudah menerbitkan dan memimpin majalah Gelombang Zaman, nama Achdiat tidak peernah disebut-sbut dalam dunia sastra sampai ia muncul dengan romannya Atheis (1948). Ia dilahirkan di garut pada tanggal 6 Maret 1911.

Roman itu melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia dalam menghadapi berbagai pengaruh dan tantangan jaman. Tokoh Utamanya seorang pemuda kelahiran desa bernama Hasan. Pada masa kecilnya hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama Islam dan pengikut suatu aliran tarikat tapi ketika ia bekerja di kota, jauhlah ia dengan kehidupan agama.

Apalagi ketika akhirnya bertemu dengan kawan sekolahnya yangbenama Rusli yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai seorang ateis. Hasan yang kesadaraan agamanya hanya secara tradisional saja mudah sekali terombang-ambing. Perkataan-perkatan Rusli yang berpandangan Marxis mengguncangkan imannya. Terutama ketika ia jatuh cinta kepada seorang janda muda bernama Kartini, kawan Rusli, yang menurut analisis Rusli menjadi korban kekejaman. Kartini ketika masih gadis dikawinkan oleh orang tuanya dengan arab yang menjadi lintah daraat.

Hasan terombang-ambing jiwanya: menjadi atheis dan menjadi seorang beragama yang taat pun tidak lagi. Dalam suasana terombang ambing itu, Hasan mengalami berbagai cobaan pula: kekurangajaran anak warung menyebabkan Hasan selalu hidup dalam cemburu terus-terusan karena kelihatan mau mengganggu Kartini, hubungan dengan orang tuanya yang memburuk, ketakutannya akan siksa neraka dan lain-lain.

Roman ini bentuknya sangat istimewa dan orosinil. Sebelumnya tak pernah ada roman seperti itu di Indonesia, baik struktur maupun persoalannya. Flash-back bukan untuk pertama kali dipergunakan dalam penulisan roman Indonnesia. Bahkan Azab dan Sengsara yang terbit 1920 juga menggunakan cara flash-back. Tetapi cara Achdiat menggunakan flash-back sangat menarik: Atheis dibuka dengan suatu adegan ”si aku” pengarang bersama Kartini mencari berita tentang Hasan. Hasan ketika itu sudah mati. Kemudian, si aku mengisahkan pertemuan dengan Hasan yang memberikan karangan berdasarkan pengalaman hidupnya. Maka mulailah cerita Hasan sampai hubungan dengan orang tuanya mencapai krisis.

Tentang roman atheis ini seorang sarjana sastra Dra. Boen Sri Oemarjati telah menerbitkan berjudul Roman Ateis (1963).

Dia pernah bekerja menjadi pemimpin Balai Pustaka, kemudian pindah ke Jawatan Kebudayaan sampai pensiun. Tahun 1959 ia mengajar sastra modern di Fakultas Sastra UI dan tahun 1962 mengajr drama Indonesia modern di The Australian National University, Canbera.

Achdiat bukan pengarang yang produktif. Beberapa tahun lamanya setelah Atheis ia hanya menerbitkan Polemik Kebudyaan (1948) yang merupakan kumpulan polemik sebelum perang dan drama anak berjudul Bentrokan dalam Asmara (1952). Baru pada tahun 1956 terbit pula karya sastranya berjudul Keretakan dan Ketenangan yang merupakan cerpen dan drama satu babak dan mendapat hadih sastra nasional dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1955 – 1956.

Dalam cerpennya dan dramanya itu, Achdiat secara halus dan tajam melukiskan o-ka-ba (Orang Kaya Baru) yang penuh kesibukan dan kegermelapan, tetapi sesungguhnya kosong dan hampa. Tahun 1961 terbit cerpen Kesan dan Kenangan.

 

e. Pramoedya Ananta Toer

Dilahirkan di Blora pada tanggal 2 Pebruari 1925, mulai mengarang sejak zaman Jepang dan masa revolusi, Kranji dan Bekasi Jatuh (1947). Meskipun demikian, baru menarik perhatian duna sastra Indonesia tahun 1949 ketika cerpennya Blora yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara pengaran yang diadkan oleh Balai Pustaka. Blora ditulis dalam gaya yang sangat padat dan menyenakkan. Cerpen itu kemudian bersama dua buah cerpen lainnya yang juga ditulis Pram dalam penjara ditebitkan menjadi sebuah buku berjudl Subuh (1950).

Roman Keluarga Gerilya (1950) dan cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu bersama sama beberapa cerpen yang ditulisnya sebelumnya diterbitkan dalam buku yang berjudul Percikan Revolusi (1950).

Perburuan ialah sebuah cerita fiksi (rekaan) yang berdasarkan pemberontakan PETA yang gagal terhadap Jepang, karena salah satu orang di antara shodancho yang akan berontak itu berkhianat. Selanjutnya Pram membahas kesetiaan manusia: ketika shodancho Hardo yang menyamar sebagai kere bertemu dengan bakal mertuanya, dengan ayahnya, ia hanya menemukan kekecewaan saja. Bakal metuanya berkhianat lapor pada Jepang dan ayahnya yang dicopot dari kekdudukanya sebagai wedana menjadi penjudi. Semua perisitwa itu dipadatkan pengarang terjadi dalam tempo sehari semalam.

Juga dalam roman Keluarga Gerilya peristiwa-peristiwa yang terjaadi dipadatkan dalam tiga malam saja. Keterangan di bawah judul bukunya, “Kisah keluarga manusia dalam tiga hari tiga malam saja.”

Pram ialah seorang yang sangat produktif menulis, tak henti-hentinya ia menulis, Mereka yang Dilumpuhkan (dua jilid, terbit 1951 – 1952) merupakan pengalamannya selama dipenjara; Cerita dari Blora 1952 mendapat hadiah sastra nasional BMKN. Tahun 1952 menerbitkan kumpulan cerpennya Di Tepi Kali Bekasi 1950. Sebuah roman yang melukiskan perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Krawang dan Bekasi; Bukan Pasar Malam 1951, Gulat di Jakarta 1953, Korupsi 1954, Midah si Manis Bergigi Emas 1954, Cerita dari Jakarta 1957, dll.

Dalam cerpennya Dia yang Menyerah yang dimuat dalam buku Cerita dari Blora Pram melukiskan sebuah keluarga yang menjadi korban pemberontakan PKI di Madiun 1948. Dalam cerita itu ia mengutuk PKI. Tetapi, sikapnya terhadap PKI berubah sejak pertengahan tahun 1950-an.

Pada awal tahun 1960 ia sudah masuk menjadi seorang anggota pimpinan LEKRA yaitu sebagai seksi seni sastra dari Lekra dan memimpin grup Lentera yang melalui surat kabar Bintang Minggu tak habis-habisnya menyerang para pengarang yang tidak sependirian dengan mereka dengan berbagai fitnah dan insinuasi. Karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing yaitu: Inggris, Belanda, Rusia, Cina, dan Jepang dll.

Semasa menjalani hukuman di Pulau Buru, Pram menulis kwartet Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang sempat dilarang beredar pada masa Orde Baru dan baru bisa dinikmati secara bebas beberapa tahun setelah rejim orba jatuh melalui gerakan Reformasi 1997. Dalam kwratet itu Pram melukiskan masa awal tumbuhnya nasionalisme untuk melawan pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda melalui sinergi tokoh Nyai Ontosoroh, seorang gundik Belanda, Tuan Melema, dan anak pribumi bernama Minke.

Semangat perlawanan dimulai ketika hak asasi mereka diinjak-injak kaum penjajah. Annelis, kekasih sekaligus istri Minke dan anak kesayangan Nyai direnggut secara paksa oleh hukum kolonial. Annelis diambil paksa harus meninggalkan tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintainya di Hindia Belanda.


f. Mochtar Lubis

Terkenal sebagai wartawan surat kabar yang dipimpinnya adalah : Indonesia raya dan dilarang terbit pada tahun 1958. Ia sendiri sejak tahun 1956 ditahan denga tuduhan yang bukan-bukan, hampir 9 tahun ia disekap oleh rezim pemerintahan SEKARNO dan dikeluarkan pada tahun 1966. Setelah keluar ia bersama H.B. Yassin , Taufik Ismail, arief Budiman, Goenawan, Mohammad. Dll menerbitkan dan memimpin majalah Sastra “ HORISON “.

Ia lahir di Padang tanggal 7 Maret 1922. Buku romannya yang pertama berjudul Tak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952) dan mendapat hadih sastra nasional dari BMKN. Roman ketiga berjudul Senja di Jakarta menceritakan tentang kehidupan politik kotor para koruptor, manipulator, dan propiteur di Jakarta dengan latar belakang kehidupan rakyat jelata.

Roman Jalan Tak Ada Ujung menceriterakan kehidupan jiwa seorang guru yang senantiasa dalam ketakutan pada masa revolusi. Roman ke 4 berjudul Tanah Gersang 1966 menceriterakan tentang motif kejahatan anak-anak yang tidak mendapat cinta dan perhatian yang cukup dari orang tuanya. Ia juga menulis cerpen dan esai (sering menggunakan SAVITRI), kumpulan cerpen yang ditulisnya yaitu SI JAMAL dan PEREMPUAN.

 

g. Utuy Tatang Sontani

Lahir di Cianjur tahun 1920. Terkenal sebagai pengarang drama. Drama pertama berupa drama sajak berjudul “Suling“ 1948. Drama kedua berjudul Bunga Rumah Makan 1948 “Awal dan Mira“ 1952 yang mendapat hadiah dari sastra nasional BMKN . Namun drama Utuy yang terkuat dan terbaik berjudul “Selamat jalan anak kufur“. Romannya yang berjudul “TAMBERA “ yang sampai sekarang dianggap salah satu roman terpenting angkatan 45.


h. Sitor Situmorang

Lahir di Harianboho, Tapanuli tanggal 2 ktober 1942. Mulai terkenal tahun 1953, ketika menulis sajak, drama, cerpen, esai, dll. Sajaknya pertama berjudul “ Surat Kertas Hijau “ 1954. Sajaknya kedua berjudul “Dalam Sajak“ 1955.

Ada jugamnerbitkan darama yang berjudul “ Jalan Mutiara “ 1945 dan kumpulan cerpennya yang berjudul “Pertempuran dan Salju “ di Paris 1956, sajak yang dibuatnya berjudul “ Lagu Gadis Italia “.


Kerling danau dipagi hari
Lonceng Gereja bukit Italia
Jika musimmu tiba nanti
Jemoputlah abang diteluk napoli
…………………………………
…………………………………

 

Menjelang akhir tahun lima puluhan , ia aktif dalam dunia politik praktis, tahun 1959 ia menjadi ketua pertama dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajaknya di ganti dalam kumpulan bahasa gombastis dan slogan-slogan murah, sajaknya termuat dalam kumpulan yang berjudul “ Zaman Baru “ 1962 dan tahun 1966 ia ditahan dan disangka terlibat gestapu PKI.

 

i. Dodong Djiwa Pradja

Dodong sudah melukis sejak sekitar tahun 1948. Sajaknya Cita-Cita yang dimuat dalam majalah GEMA SUASANA takala masih diasuh oleh CHAIRIL ANWAR, merupakan salah satu sajak yang jernih.

Ia dilahirkan di Garut tanggal 28 September 1928. Selain menulis sajak ia juga menulis cerpen dan esai. Citra puisi pada sajaknya menemukan bentuknya yang sederhana, orisinil dan plastis. Pada tahun enam puluhan, Dodong merupakan saslah seorang penyair Indonesia terkuat selain Rendra.

Salah satu sajaknya yang dibuat pada tahun 1963 adalah:

 

NYANYIAN PAGI HARI

Dekapan pada hati, rumput-rumputmu, gunung-gunungmu
Tuang dan basuh muka dengan linang embunmu
Nyaman air, tercuci kaki berderai kerikil kali
Lebih indah dari impian, kenyataan diluar impian
…………………………………………………………….
…………………………………………………………….

Dekaplah, dekapkan pada hati
Rumput hijaumu
Gunung birumu
Dan langitmu yang bagai telur

Meskipun ia telah menulis sajak yang cukup banyak tapi ia belum berhasil membukukannya.

 

j. Harjadi Hartowardojo

Nama lengkapnya Harjadi Sulaeman Hartowardojo, mulai mengumpulkan sajaknya sekitar tahun 1950. Sebagian besar dari sajak pada masa-masa itu kemucian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku yang berjudul LUKA BAYANG, kumpulan sajak-sajaknya tahun 1950 – 1953 – 1963.

Harjadi dilahirkan di Prambanan tanggal 18 Maret 1930. Ia pernah bekerja pada redaksi majalah Pujangga Baru ( sesudah perang ) . Kemudian hidup sebagai wartawan di berbagai majalah dipenerbitan antara lain: Garuda, Siasat, surat kabar Pedoman dan membantu berbagai majalah. Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakrta. Ia tamatan Fakultas Publikasti dan Fakultas Psikologi. Ejak tahun 1968 pada bulan Juni, Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja.

Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakarta. Ia tamatan Falkutas Publikastik, dan Fakultas Psikologi. Sejak tahun 1968 ( Juni ), Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja.

Salah satu karyanya adalah :

ANJING MAKAN AKAR KAYU

Mari bone
Beta cari gadis, cari nona,
Beta tukar sirih pinang
Bersama melangkah, bersama berlagu
Menunggu bulan naik bulan terang
Siku beta main di dada
Semalam saja, besok
Berpasar sejam

Dansa, hail
Melangkah, hail
berputar dalam lingkaran
berbaris
Tangan berkepit-kepit
Sahut hormati beta punya lagu
Asa asu bukae hau baat
……………………………….
……………………………….

 

Selain menulis sajak ia juga menulis esei, serpen, dan roman. Esei terbaiknya di tulis pada tahun pertama lima puluhan. Cerpen-cerpennya masih berserakan, majalah-majalah yang memuatnya Roman yang dibuatnya berjudul MUNAFIK mendapat ajakan ikatan Penerbit Indonesia ( IKAPI ) Jawa Barat 1967.

Dalam romannya Harjadi melukiskan konfik tentang kisah cinta antara pemuda dan pemudi yang berlainan agama dan juga ras. Di dalam masyarakat kampung yang tradisional dengan cara berpikir

Meskipun di sana-sini roman ini menunjukkan kekurangan dalam kmposisi ceritanya, namun roman ini mempunyai daya saran/daya pengikat yang mencekam hampir secara magis, yang membuktikan ia sebagai penulis prosa.

 

k. MH. Rustandi Kartakusama

MH. Rustandi Kartakusama larih di Ciamis tanggal 21 Juli 1921. Beliau banyak sekali menulis esai. Esai-esainya ditulis dengan bahasa dan gaya yang sinis berkelekar, memberikan latar belakang yang luas. Meskipun kadang-kadang terasa tidak menunjukkan lapang dada. Sikap dan pendapat beliau banyak orang tidak setuju, akan tetapi esai-esainya tetap berharga untuk dibaca. Beliau muncul dengan hasil karya dan buah tangannya pada akhit tahun empat puluhan dan beliau tidaklah tepat disebut angkatan 45’ sebab karya beliau sangat berbeda dengan angkatan 45’ dari segi bentuk atau isinya dan beliau sendiripun tidak mengaku sebagai angkatan 45’.

Adapun hasil karya beliau sebagai berikut:

a. Esai-esai tentang sastra, seni, dan filsafat diantaranya: “Adam dan Si Anak Hilang“, “Homo Faber“, “Surat dari Cidadap Girang“, dimuat dalam majalah kebudayaan Indonesia. Dan esia-esai lainnya tentang “Ciliung“ dimuat dalam majalah gelanggang/siasat.

b. Drama yang terbit pada tahun 1950.

Sajaknya Prabu dan Putri yang disebutnya “Sebuah Tragedi“, ini merupakan saduran dari sebuah cerita Pandji yang menceritakan bahwa segi percakapan tokoh-tokohnya nampak kecendrungan kepada pemikiran filosofis, percakapan tentang hidup, mati, ada dan tidak ada, keabadian, bahagia, dan lain-lain. Dan drama ini sulit dipentaskan.

Drama yang lain berjudul “Merah Semua Putih Semua“ (1961) menceritakan atau melatarbelakangi masa revolusi fisik melawan Belanda, yang berbentuk novela.

c. Dari drama beliau juga menulis skenario yang berjudul “Lagu Kian Mendjauh“ (1959) menceritakan tentang kehidupan seorang seniman musik yang mana dalam kehidupannya terlibat cinta terhadap seorang gadis orkes yang di pimpinnya.

d. Beliau juga menulis sajak, yang berjudul sebagai berikut: Rekaman dari Tudjuh Daerah (1951) ini merupakan sajak yang paling tebal terbit di Indonesia. Sajak yang berdasarkan kisah-kisah lama dari Lutung Kasarung, dan kisah Singasari dalam Kartanagara, dan kisah Adam dan Hawa dalam Paradise Lost, dan lain-lain.

 

 PARA PENGARANG WANITA 

1. Ida Nasution.

Ida Nasution adalah pengarang esai yang berbakat dalam menulis esai yang dimuat dalam majalah-majalah. Tapi nasib beliau malang karena menjadi korban revolusi dan hilang dalam perjalanan Jakarta-Bog0r (1948).


2. Walujati.

Lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1942. Mulai menulis sajak pada masa-masa awal revolusi, sajak berjudul “Berpisah“ merupakan sejak romantik yang mendapat pujian dari Chairil Anwar. Dan pada tahun 1950 Walujati mengumumkan sebuah roman yang berjudul “Pudjani“ dan masih banyak lagi roman yang beliau tulis tak kunjung terbit.


3. St. Nuraini.

Lahir di Padang tanggal 6 Juli 1930. Beliau mnulis sajak, cerpen, esai, dan menterjemahkan hasil sastra asing. Salah satu sajak beliau yang sangat lembut dan halus sekali melukiskan perasaan sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.


4. S. Rukiah.

Lahir di Purwarkarta tanggal 25 April 1972, beliau juga menulis sajak dan bahkan dimuat dalam bukunya “Tandus“ (1952) mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1952 untuk puisi. Selain itu beliau juga menulis roman yang berjudul “Kejatuhan dan Hati“ (1950) yang mengisahkan tentang perasaan wanita yang jatuh cinta kepada seorang politikus tetapi kemudian terpaksa kawin dengan pedagang pilihan ibunya.


5. Suwarsih Djojopuspito

Lahir di Bogor tanggal 20 April 1912. Hasil karyanya berupa roman yang ditulis dalam bahasa Belanda berjudul “Buiten Het Gareel (diluar garus)” terbitan tahun 1941. Roman ini menceritakan kehidupan kaum pergerakan nasional Indonesia, terutama di lingkungan perguruan pertikelir (taman siswa) pada tahun tiga puluhan. Sebelum beliau menulis roman bahasa belanda beliau menulis roman dengan bahasa Sunda akan tetapi roman ini ditolak Balai Pustaka. Lalu beberapa tahun kemudian beliau (1959) menerbitkan roman yang berbahasa Sunda tahun 1937 berjudul Marjanah. Setelah itu beliau menulis cerpen yang pertama berjudul Tudjuh Tjerita Pendek (1951) yang kedua berjudul Empat Serangkai (1954). Dan banyak lagi kumpulan-kumpulan cerpen yang belum dibukukan.


BEBERAPA PENGARANG LAIN

Kecuali para pengarang yang tadi sudah dibicarakan, masih banyak lagi para pengarang lain yang memulai atau mengajukan aktivitasnya pada tahun-tahun 1945-1953. Misalnya Barus Siregar (lahir di Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul Busa di Laut Hidup (1951). Zuber Usman (lahir di Padang tanggal 15 Desember 1916) menerbitkan sekumpulan cerpen yang berjudul Sepanjang Jalan. Dengan beberapa cerita lain (1953). Sk. Muljadi (lahir di Madiun tanggal 23 Desember 1925) menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya yang berjudul Kuburan (1951). Saleh Sastrawinata (lahir di Majalengka tanggal 15 Juli 1915), menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Kisah Swajarnya (1952), S. Mundingsari yang nama sebenarnya Suparman (lahir tanggal 24 April 1922) menebitkan sebuah roman berjudul Jaya Wijaya (1952).

Muhannad Dimyati yang kadang-kadang menggunakan nama samaran Badaruzzaman (larih di Solo sekitar tahun 1914) menerbitkan sekumpualn cerpen berjudul Manusia dan Peristiwa (1951), R. Sutomo menerbitkan sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950), Rustam St. Palindih menerbitkan dua buah sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949), dan Cendera Mata (1950), di samping itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung Kasarung (1949) dan lain-lain.

Di samping itu ada pula pengarang-pengarang yang belum berhasil menerbitkan buah tangannya menjadi buku. Karangan-karangan mereka dimuat dalam majalah-majalah yang terbit pada masa itu. Gajus Siagian (lahir di Porsea, Tapanuli tanggal 5 Oktober 1920), P Sengojo atau Suripman (lahir 1927), Dodong Djiwapradja (lahir di Garut tahun 1928), Muh Ali (Lahir 1927), Mahatmanto atau Abu Chalis atau Sang Agung Murbaningrad atau Sri Amarjati Murbaningsih yang ke semuanya nama samaran Suradal A. Manan (lahir di Kulur, Yogyakarya, tanggal 13 Agustus 1924), Sirulllah Kaelani yang kadang-kadang menggunakan nama S.K Insankamil (lahir di Ciledung, Cerebon, tanggal 22 Pebruari 1928), Darius Marpaung (lahir di Porsea 1928), Harijadi S. Hartowaddojo (lahir di Prambanan 18 Maret 1930), Abas Kartadinata (Lahir di Bandung 1930), Kasim Mansur (lahir di Surabaya1922) dan lain-lain.


1) P. Sengojo

Nama sebenarnya ialah Suriman, lahir di daerah Ungaran, tanggal 25 November 1926. Kalau menulis sejak ia menggunakan nama samaran P. Sengojo atau Piet Sengodjo. Nama Suripman dipergunakannya apabila ia menulis prosa, baik esai maupun cerpen.

Sajak-sajaknya surrealistis. Batas antara kenyataan dan angan-angan demikian titpis sehingga kabur-berbaur. Dalam sajak-sajaknya suasana samar-samar dan remang-remang, dunia yang maya terasa mendasari. Dalam beberapa hal ia melakukan percobaan-percobaan dengan bahasa, keluar dari kebiasaan yang umum.


MENCARI ANGIN
Perahu yang melancar di atas ke permukaan air yang kemilau dalam cahaya surya bermain ---------------
Aku yang merasa tenang dalam kegirangan yang meresap dari pohon di hadapan --------
Burung yang terbang lalu melayang di atas embusan angin---------------------
Aku dan engkau yang tiada berpandangan lagi, dan alam bebas melepaskan kita berdua---
Makin yang berharap menimbulkan bahagia ----------------------------
Ah, kita berdua telah saling percaya.

(Gelanggang/Siasat, 1953)

 

Lebih tenang dan lebih tajam, mengesan serta menyaran, ialah esai-esainya yang pada tahun 1952, 1953, 1954 memenuhi lembaran-lembaran majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta dengan judul umum Pecahan Bertebaran. Dalam esai-esainya itu ia menunjukkan bahwa di samping mempunyai erudisi yang luas, ia merupakan seorang yang waspada-tajam melihat situasi nyata yang hidup di sekelilingnya. Ia pun menunjukkan minat yang besar terhadap sastra dan nilai-nilai kebudayaan lama (Jawa).

Cerpen-cerpennya jumlahnya tidak banyak. Umumnya melukiskan kehidupan kampung dan pedesaan, di mana impian seorang naturalis tidak menemukan kenyataan. Banyak yang absurd.


2) M. Ali

Nama lengakpnya Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari keturanan India. Ia menulis sajak, cerpen dan sandiwara. Banyak dimuat dalam majalah-majalah Pudjangga Baru, Zenith, Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Konfrontasi, Indonesia dan lain-lain. Cerpen-cerpen, sajak dan sandiwara yang terbaik kemudian dibukukan dalam sebuh kumpulan berjudul Hitam atas Putih (1959). Dalam karangan-karangannya tampak sekali perhatiannya terdahap masalah-masalah sosial dan kehidupan masyarakat. Sandiwara radio yang dimuat dalam buku itu berjudul Lapar merupakan gambaran tentang orang-orang yang karena lapar bersedia menjual apa pun juga miliknya untuk sekadar pengisi perut termasuk menjual anak dan dirinya sendiri. Dalam sebagian sajaknya, juga maslah ketuhanan dan keyakinan agama menjadi perhatiannya.

 

KEPADA GADIS CINTAWATI

Apakah hidup ini, jika tiada mati?
Dan betapa Mati kija bukan kebangkitan kembali?
Setelah kau berkisah tentang kasih dan benci?

Sudah kugali lubang di bumi
Buat tempatku tinggal abadi
Segala berkata: inilah mimpi!
Musim-musim silih berganti
Wangi senja warena-wareni
Menyanyikan kebesaran mati

Dan orang ini ……………..
Yang mengebung-mengempis mengisi hari
Akan menyerah kepada mati

Dan bila kubangun rumah di sini
batu demi batu kususun rapi
atas napas ke napas yang menggendor sepi

Cintawati, kukasihi engkau, seperti murai
Ngagumi fajar dan embun pagi
Dan aku tahu: kau pun pasti hilang kembali

Kecuali yang dimuat dalam hitan atas Putih itu, masih benyak lagi karangan-karangannya yang belum dibukukan, baik cerpen maupun sajak. Beberapa buah karangannya yang lebih panjang dari cerpen telah diterbitkan berupa buku-buku kecil di Surabaya, antaranya 5 Tragedi (1954), Siksa dan Bayangan (1955), Persetujuan dengan Iblis (1955) dan Kubur Tak Bertanda (1955). Umumnya nilainya di bawah karangan-karangan yang dimuat dalam Hitam atas Putih.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi, M. 2009. Sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Semarang: PT. Sindur Press

Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. ISBN 9799012120

Eneste, Pamusuk. 1987. H. B. Jassin: Paus Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Goenadi, M. 1962. Sejarah Kesusastraan Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Noor Komala.

Jassin, H.B. 1962. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II. Jakarta: Gunung Agung.

Sumardjo, J. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Amal_Hamzah | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia