PERIODESASI SASTRA – BAGIAN I (PERTAMA)
(MASA KELAHIRAN TAHUN 1900-1945)
Beberapa penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan dalam membagi babakan waktu sejarah sastra Indonesia, kalau diteliti lebih lanjut akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mencolok, baik istilah maupun konsepsinya. Seperti pada bab sebelumnya ada pendapat Nugroho Notosusanto dan pendapat Rachmat Djoko Pradopo.
Pada pertemuan kali ini, Ibu sengaja mengambil pendapat Ajib Rosidi mengenai pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
A. Masa Kelahiran (1900-1945) yang dapat dibagi menjadi:
1. Periode awal hingga 1933;
2. Periode 1933-1942;
3. Periode 1942-1945.
B. Masa Perkembangan (1945-sekarang) meliputi:
1. Periode 1945-1953;
2. Periode 1953-1961; dan
3. Periode 1961- sekarang.
Dalam pembabakan ini digunakan istilah "periodisasi" dan bukan "angkatan" karena angkatan dalam sastra Indonesia telah menimbulkan berbagai kekacauan. Pembedaan antara periode yang satu dengan periode yang lain berdasarkan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman. Sedangkan pembedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan pada adanya perbedaan konsepsi masing-masing angkatan.
Dalam satu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya periode baru tidak pula berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru. Perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman mungkin menimbukan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.
1. Periode Awal Hingga 1933;
”Bacaan Liar” dan Commissie Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka)
Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dan Raja mempergunakan uang sebanyak f25.000 untuk keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak putra.
Dengan didirikanya sekolah banyak orang yang mempunyai kegemaran membaca dan menulis, sehinga timbullah orang berbakat yang mulai menulis berbagai rupa karangan. Surat-surat kabar dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Melayu yang tersebar di Melayu, Jakarta, dan kota yang lain.
Kemudian tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat sastra. Awal abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk Roman. Yang sangat menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H. Moekti.
Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintahan Belanda karena tulisan Semaun tersebut berpaham kiri yang sifat dan isi karangannya diduga banyak menghasut rakyat untuk berontak terhadap Belanda. Oleh karena itu, karangan-karangan itu disebut pemerintahan Belanda sebagai “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.
Peranakan Indo pada masa itu juga menulis cerita, misalnya G. Francis yang menulis kisah Nyai Dasima (1896). Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker (1820-1887) yang artinya “Aku Telah Banyak Menderita”. Ia menjadi pegawai pemerintah jajahan di Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkstectuur) pada tahun 1917 atau Balai Pustaka.
Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.
Selain roman ada juga beberapa sajak karya Muhammad Yamin dan Roestam Effendi. Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai dengan Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Antara tahun 1920-1922 Yamin banyak menulis sajak-sajak lirika, berupa pujian-pujian terhadap tanah air dan bahasa bundanya. Sebuah sejarahnya yang berjudul Bahasa Bangsa melukiskan perasaannya tentang “tiada bahasa, bangsa pun hilang”.
M. Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar belakang sejarah, antara lain Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932).
Penyair yang sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (1902). Roestam Effendi menulis dua buah buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan raksasa. Drama ini merupakan sebuah perlambang/simbolik dari cita-cita pengarangnya. Agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas” maksud dari kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda merupakan perlambang tanah air yang berada di tangan penjajah. Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu. Beberapa karyanya:
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Karya: Roestam Effendi
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair,
bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat-sarat saya mungkiri,
untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
MENGELUH
Karya: Roestam Effendi
I
Bukan beta berpijak bunga,
melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disimbur sukar,
bermandi darah, dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
berharta bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuh gaduh,
membobos masuk menyayu kalbu.
Ba’mana boleh berkata beta,
suara sebat, sedanan rusuh,
menghimpit madah, gubahan cintaku.
II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.
Di situlah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.
Di dalam sajak ini penyair Roestam Effendi menyajikan perjuangan bangsanya merebut kemerdekaan.
2. Periode 1933-1942;
“Lahirnya Majalah Pujangga Baru”
Sejak tahun 1920 kita sudah mengenal majalah yang memuat karangan sastra seperti Sri Poestaka (1919-1941), Panji Poestaka (1919-1992), Yong Soematra (1920-1926). Hinggga awal tahun 1930-an para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesastraan belum juga terlaksana
Tahun 1930 terbit Majalah Timboel, mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia di mana Sutan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai direkturnya.
Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan Majalah kesastraan dan bahasa serta kebudayaan umum. Tahun 1935 berubah menjadi pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni, kebudayaan, dan soal masyarakat umum”. Kemudian tahun 1936 terjadi lagi pembahasan yaitu berbunyi “Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Persatuan Indonesia”.
Majalah ini terbit dengan setia meskipun bukan tanpa kesulitan berkat pengorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisjahbana. Kelahiran majalah Poejangga Baru yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan bukan berarti tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandakan bahasa Indonesia sekolah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi, sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi seperti H. Agus Salim (1884-1954) Sutan Moh. Zain (1887), S.M. Latif yang menggunakan nama samaran Linea Recta dan lain-lain.
Motor dan penggerak semangat gerakan Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana, lahir di Natal 1908. Sejak tahun 1929 muncul di panggung sejarah dengan roman berjudul Tak Putus Dirundung Malang, roman kedua berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932) roman ketiga berjudul Layar Terkembang (1936), adapun roman yang berjudul Anak Perawan Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu dari pada Layar Terkembang dimuat sebagai Feulilleton dan majalah Pandji Poestaka.
Oleh Ir. S. Udin, Sutan Takdir Alisjahbana pernah disebut sebagai “Insinyur Bahasa Indonesia”.
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik, dan elitis menjadi babak sastra modern Indonesia. Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi oleh kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928. Melihat latar belakang sejarah pada masa itu, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
STA merupakan tokoh yang sangat energetik dalam majalah Pujangga Baru. Semangat kerjanya itu tetap keras menggebu-gebu hingga akhir hayatnya. Ia mempunyai konsep, bahwa kalau kita ingin maju, ingin modern, maka kita harus mau menggali tenaga dan mereguk ruh barat, kita harus mau banyak belajar dari barat. Barat menurut citra STA ialah ilmu pengetahuan dan teknologi yang super, sanggup menjawab berbagai tantangan zaman, karena merekalah yang selalu mengutamakan intelektualisme, materialisme, dan modernisasi. Kerja yang dinamik dan kreativitas Barat memiliki tokoh Faust yang berjiwa besar dan selalu bergelora dalam usaha menggapai kebahagiaan duniawi.
Amir Hamzah dan Armijn Pane lebih berpaling pada dunia timur. Keindonesiaan menurut mereka haruslah berakar pada budaya asli kita yang menyandarkan pada potensi kerohanian. Orang tidak perlu memburu materi atau menjadi materialistik karena menurut mereka, yang lebih hakiki ialah batin yang bahagia. Faktor perasaan jangan sampai ditinggalkan dan kehidupan akhirat pun harus pula dipikirkan.
Sanusi Pane menginginkan keseimbangan antara barat dan timur. Menurut Sanusi Pane, hendaknya cara berpikir Indonesia merupakan gabungan antara Arjuna yang suka mengolah kehidupan spiritual dan Faust yang memiliki semangat keduniaan yang tinggi. Bila kedua tokoh itu digabung, maka terjadilah satu kehidupan yang seimbang dan paripurna. Jiwa-raga material spiritual terpenuhi secara seimbang.
Angkatan Pujangga Baru banyak dipengaruhi Angkatan ‘80 (1880) dari Nederland. Menilik seri sifat keromantikan dan idealismenya, pendapat itu tidaklah berlebihan. Yang jelas para sastrawan pendukung Angkatan Pujangga Baru adalah orang-orang yang banyak membaca. Bacaan-bacaan yang digeluti tentang perkembangan sastra dunia. Para pengarang dan penyair pun tidak lagi menunjukkan dominasi Sumatera sebagaimana Angkatan Balai Pustaka. Kesadaran masyarakat untuk menghargai dan mengembangkan kehidupan kesusastraan cukup menyenangkan.
Atas inisiatif STA melalui pujangga baru-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang, STA pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957).
STA juga menulis sajak-sajak, salah satunya yang mengenangkan pada kematian isterinya yaitu berjudul Tebaran Mega (1936). Esai-esai STA tentang sastra banyak juga antara lain “Puisi Indonesia Zaman Baru”. Kesusastraan di zaman Pembangunan Bangsa (1938), Kedudukan Perempuan dalam Kesusastraan Timur Baru (1941), dan lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bunga rampai Puisi Lama (1941) dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing.
Pada masa Angkatan Pujangga Baru, ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru, yaitu:
1) Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah.
2) Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru, sbb:
1) Sudah menggunakan bahasa Indonesia
2) Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)
3) Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional,
4) Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
Puisi Pujangga Baru adalah awal puisi Indonesia modern. Karya sastra termasuk puisi, diciptakan oleh sastrawan. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak terlepas dari latar sosial, budaya, dan kesejarahan masyarakatnya. Begitu juga penyair Pujangga Baru tidak lepas dari latar sosial, budaya, dan kesejarahan bangsa Indonesia. Puisi Pujangga Baru (1920-1942) itu lahir dan berkembang pada saat bangsa Indonesia menuntut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Oleh karena itu, perlu diteliti wujud perjuangannya di samping wujud latar sosial dan budayanya.
Angkatan Pujangga Baru bercorak romantis idealistis, artinya kesusastraan diwujudkan sebagai buah kreativitas yang penuh keindahan dan sarat idealisme. Beberapa tokohnya terpengaruh romantisme Angkatan 1880 negeri Belanda.
Contoh Puisi karya Angkatan pujangga baru:
DIBAWA GELOMBANG
Karya: Sanusi Pane
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu
Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat
Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu
Tokoh-tokoh Pujangga Baru yang Lain:
a. Armijn Pane
1) Belenggu (1954);
2) Jiwa Berjiwa;
3) Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960);
4) Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950);
5) Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953).
b. Tengku Amir Hamzah
1) Nyanyi Sunyi (1954);
2) Buah Rindu (1950);
3) Setanggi Timur (1939).
c. Sanusi Pane
1) Pancaran Cinta (1926);
2) Puspa Mega (1971);
3) Madah Kelana (1931/1978);
4) Sandhyakala ning Majapahit (1971);
5) Kertadjaja (1971).
d. Muhammad Yamin
1) Indonesia, Toempah Darahkoe! (1928);
2) Kalau Dewi Tara Sudah Berkata;
3) Ken Arok dan Ken Dedes (1951);
4) Tanah Air.
e. Roestam Effendi
1) Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953);
2) Pertjikan Permenungan (1953).
f. Selasih
1) Kalau Ta' Oentoeng (1933);
2) Pengaruh Keadaan (1957).
g. J.E. Tatengkeng
1) Rindoe Dendam (1934).
3. Periode 1942-1945;
“Saat-saat yang Mematangkan”
Dijajah Jepang selama 3,5 tahun merupakan pengalaman penting dalam sejarah Indonesia pada umumnya dan juga sastra pada khususnya. Karena bahasa Indonesia tadinya dihindari Belanda supaya jangan resmi menjadi bahasa persatuan. Oleh orang Jepang, bahasa Indonesia dijadikan satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan di seluruh kepulauan Nusantara. Dengan makin intensifnya bahasa Indonesia dipergunakan di kepulauan Nusantara, maka sastra Indonesia pun mengalami intensifikasi juga. Keimin Bunka Shindo merupakan kantor pusat kebahasaan yang dibentuk oleh Jepang. Selain itu, Jepang juga mengadakan perkumpulan sandiwara di bawah P.O.S.D (Perserikatan Oesha Sandiwara Djawa).
Pada masa penjajahan Jepang banyak orang menulis sajak, cerpen, dan sandiwara. Sedangkan roman kurang, yang diterbitkan hanya dua, yaitu Cinta Tanah Air karya Nur Sultan Iskandar (1944) dan Palawija karya Karim Halim (1944). Keduanya roman propaganda yang bernilai sastra.
Pada masa inilah bahasa Indonesia mengalami pematangan, seperti tampak pada sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus yang tidak hanya sekadar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucap sastra yang dewasa. Usaha inilah yang menyebabkan dimulainya suatu tradisi puisi Indonesia yang hampir tak terbatas. Bahasa sajak Chairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan.
Kehidupan yang morat-marit juga mengajari para pengarang supaya belajar hemat dengan kata-kata. Setiap kata, kalimat, setiap alinea, ditimbang dengan matang, baru disodorkan kepada pembaca. Juga segala superlativisme dan perbandingan yang penuh retorika yang menjadi ciri dan kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan.
Para Penyair yang terkenal antara Lain:
a. Usmar Ismail
Usmar Ismail lahir di Bukittinggi, 20 Maret 1921 dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1971 pada umur 49 tahun. Usmar adalah seorang sastrawan dan sutradara film Indonesia yang berdarah Minangkabau. Ia dianggap sebagai warga Indonesia pelopor perfilman di Indonesia. Usmar meninggal dunia karena stroke.
Ia pernah sekolah di HIS, MULO-B, AMS-A II Yogyakarta. Ia memperoleh gelar B.A. di bidang sinematografi dari Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat pada tahun 1952.
Pada masa pendudukan Jepang dia tergabung dalam Pusat Kebudayaan. Pada masa itu pula ia mendirikan dan menjadi ketua Sandiwara Penggemar "Maya" bersama El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono, H.B. Jassin, dan lain-lain.
Ketika Belanda kembali bersama tentara Sekutu, ia menjadi anggota TNI di Yogyakarta dengan pangkat Mayor.
Ia aktif sebagai pengurus lembaga yang berkaitan dengan teater dan film. Ia pernah menjadi ketua Badan Permusyawaratan Kebudayaan Yogyakarta (1946-1948), ketua Serikat Artis Sandiwara Yogyakarta (1946-1948), ketua Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1955-1965), dan ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN). BMPN mendorong pemerintah melahirkan "Pola Pembinaan Perfilman Nasional" pada tahun 1967. Ia dikenal sebagai pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia bersama Djamaluddin Malik dan para pengusaha film lainnya. Lalu, ia menjadi ketuanya sejak 1954 sampai 1965.
Dalam bidang keredaksian dan kewartawanan, ia pernah menjadi pendiri dan redaktur Patriot, redaktur majalah Arena, Yogyakarta (1948), "Gelanggang", Jakarta (1966-1967). Ia juga pernah menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1946-1947).
Ia pernah aktif dalam bidang politik. Ia pernah menjadi ketua umum Lembaga Seniman Muslimin Indonesia (Lesbumi) (1962-1969), anggota Pengurus Besar Nahdatul Ulama (1964-1969), anggota DPRGR/MPRS (1966-1969).
Setelah sempat membantu Andjar Asmara menyutradarai Gadis Desa pada 1949, ia memulai debut penyutradaraan film lewat film Harta Karun. Ia dikenal luas secara internasional setelah menyutradarai film berjudul Pedjuang pada tahun 1961, yang mendokumentasikan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Film ini ditayangkan dalam Festival Film Internasional Moskwa ke-2, dan menjadi film karya anak negeri pertama yang diputar dalam Festival Film Internasional.
Di luar bidang-bidang tersebut, ia menjadi orang Indonesia pertama yang mendirikan kelab malam, yakni Miraca Sky, di puncak gedung Sarinah pada akhir tahun 1960-an. Selain itu, ia juga pernah menjadi pemimpin PT. Triple T.
Ketika mempersiapkan Kafedo, Usmar memberi kesempatan dan mendidik anak muda yang berminat dalam penyutradaraan film. Melalui program inilah Nya Abbas Acup masuk ke dunia film. Ia juga dikenal sebagai pencetak bintang. Nurnaningsih dan Indriati Iskak adalah dua contoh orang yang kariernya dilejitkannya. Darah dan Doa dianggap sebagai film nasional pertama di Indonesia.
Kritikus film menganggap karya-karyanya, seperti Enam Djam di Jogja dan Dosa Tak Berampun, mengandung ciri Indonesiawi. Pada masa penayangannya di Metropole Krisis menarik penonton berjubel selama lima minggu. Anak Perawan di Sarang Penyamun sempat diboikot peredarannya pada tahun 1962.
Tahun 1962 ia mendapatkan Piagam Wijayakusuma dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1969 ia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI. Setelah meninggal dia diangkat menjadi Warga Teladan DKI. Namanya diabadikan sebagai pusat perfilman Jakarta, yakni Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Selain itu, sebuah ruang konser di Jakarta, yakni Usmar Ismail Hall, merupakan tempat pertunjukan opera, musik, dan teater, yang dinamai sesuai namanya.
Pada tahun 1970, Usmar Ismail yang menjabat sebagai direktur Perfini, mengadakan kerja sama dengan perusahaan Italia untuk memproduksi film Adventures in Bali. Namun, proses dan pasca-produksi film ini bermasalah. Rosihan Anwar mengatakan, dalam perjanjian awalnya, nama Usmar sebagai sutradara akan dicantumkan dalam versi film ini yang diedarkan di Eropa. Namun, ketika Usmar berkunjung ke Roma melihat penyelesaian film itu, namanya sama sekali tidak disebut. Menurut Rosihan, Usmar ditipu oleh produser Italia. Filmnya tetap dirilis dengan judul Bali pada 1971, namun kurang laku di pasaran.
Di tengah kesulitan, Usmar tetap berjuang mempertahankan Perfini dan menggaji karyawannya. Namun, tak lama kemudian Usmar jatuh sakit di rumahnya akibat pendarahan otak. Usmar Ismail meninggal pada tanggal 2 Januari 1971 di Jakarta. Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.
Karya-karya Usmar Ismail di Bidang Drama:
1) Mutiara dari Nusa Laut (1943);
2) Mekar Melati (1945);
3) Sedih dan Gembira (1950)
Kumpulan Puisi Karya Usmar Ismail:
1) Puntung Berasap (1950)
Karya lainnya:
1) Pengantar ke Dunia Film
2) Usmar Ismail Membawa Film (editor J.E. Siahaan) (1983)
Karya-karya Usmar Ismail di Bidang Filmografi:
1) Harta Karun (diangkat dari karya Moliere) (1949)
2) Tjitra (berdasarkan naskah dramanya) (1949)
3) Darah dan Doa (1950)
4) Enam Djam di Djogja (1951)
5) Dosa Tak Berampun (1951)
6) Terimalah Laguku (1952)
7) Kafedo (1953)
8) Krisis (1953)
9) Lewat Djam Malam (1954)
10) Lagi-Lagi Krisis (1955)
11) Tamu Agung (1955)
12) Tiga Dara (1956)
13) Delapan Pendjuru Angin (1957)
14) Asrama Dara (1958)
15) Pedjuang (1960)
16) Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961)
17) Amor dan Humor (1961)
18) Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962)
19) Bajangan di Waktu Fadjar (1962)
20) Holiday in Bali (1963)
21) Anak-Anak Revolusi (1964)
22) Liburan Seniman (berdasarkan naskah dramanya) (1965)
23) Ja, Mualim (1968)
24) Big Village (1969)
25) Ananda (1970)
Salah satu puisi Usmar Ismail.
DISERANG RASA
Apa hendak dikata
Jika rasa bersimaharajarela
Di dalam batin gelisah saja
Seperti menanti suatu yang tak hendak tiba
Pelita harapan berkelap-kelip
Tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi
Bertambah kelesah hati yang gundah
Sangsi, kecewa, meradang resah
Benci, dedam… rindu, cinta…
b. Amal Hamzah
Amal Hamzah adalah pengarang dan penerjemah karya sastra pada masa Jepang. Ia lahir di Binjai, Langkat, Sumatra Utara, 31 Agustus 1922. Ia merupakan putra Tengku Muhammad Adil dan merupakan adik Amir Hamzah. Ia meninggal dunia di Duisdorf, Jerman Barat, 30 Juli 1987. Amal Hamzah memasuki HIS, Fakultas Hukum dan Sastra. Ia pernah bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bonn, Jerman Barat (1953-1985). Ia pernah mengajar di Boston, Amerika Serikat.
Amal Hamzah mempunyai 11 orang saudara. Mereka merupakan keluarga besar kerajaan Langkat, Sumatra Utara. Semasa muda, Amal Hamzah banyak dipengaruhi oleh bacaan yang diberikan oleh orang tuanya. Orang tuanya gemar membaca dan sangat mendukung anak-anaknya. Bacaan yang sangat disenangi oleh Amal Hamzah adalah karangan Rabindranath Tagore. Dia juga membaca keseluruhan karangan Amir Hamzah. Karena pengaruh Rabindranath Tagore dan Amir Hamzah, Amal Hamzah dalam menulis karya sastra cenderung bersifat romantik. Akan tetapi, ketika Jepang melakukan tekanan-tekanan pada isi kesusastraan, Amal Hamzah mengubah sifat karangannya menjadi karangan materialistis yang kasar, bersifat sinis.
Amal mulai menulis di zaman Jepang, ketika ia kehilangan kepercayaan kepada manusia. Ia menjadi kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis. Dalam sandiwara-sandiwaranya sangat menonjolkan sensualisme. Amal menulis puisi, prosa, drama, dan banyak menerjemahkan karya asing. Bukunya yang sudah terbit adalah Pembebasan Pertama (1949); Buku dan Penulis (1950); dan Pakistan (1952). Hasil terjemahan adalah Gitanjali (1946, karya Rabindranath Tagore); Bunga Seroja dari Gangga (1949, kumpulan puisi karya Rabindranath Tagore); dan Ankara (1952, karya J.K. Karaosmanoglu).
Sejumlah karyanya dimuat dalam antologi Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948, ed. H.B. Jassin); dan Gema Tanah Air (1948, ed. H.B. Jassin). Karya dramanya yang dimuat dalam majalah Pembangoenan berjudul "Seniman Pengkhianat" (No.5 Th.1, 1946); dan "Tuan Amin" (No.10 Th.1, 1946). Prosanya dalam majalah Pandji Poestaka berjudul "Kenangan" (No.11 Th.21, 1943), yang dimuat dalam majalah Pembaroean berjudul "Aku dan Dia" (No.2, 1946), yang dimuat dalam majalah Revue Indonesia berjudul "Mudaku" (No.5 Th.1, 1946), yang dan dimuat dalam majalah Indonesia berjudul "Mujed" (No.2 Th.1, 1949). Puisinya yang dimuat dalam majalah Pandji Poestaka berjudul "Anakku, Hendak Merantaukah Engkau?" (No.5 Th.21, 1943) dan "Laut" (No.14 Th.21, 1943). Puisinya yang dimuat dalam majalah Pembangoenan berjudul "Nokturnus", "Tiada Kuasa", "Tiada Mengatasi" (No.3 Th.1, 1946), "Kesombongan", "Melaut Benciku" (No.4 Th.1, 1946), "Bimbang", "Malam Ini", "Pagi" (No.6, 7, 8 Th.1, 1946), "Teringat, Aku Kontra Wanita" (No.16, 17, 18 Th.1, 1946), "Aku Kontra Hidup, Ananke", "Lingkaran Gila" (No.4 Th.2, 1947) "Reni" (No.6 Th.2, 1947), "Diplomasi", "Kepada Belanda, Lereng Curam", "Sembrono" (No.7 Th.2, 1947). Puisinya dalam majalah Arena berjudul "Jelasku" (No.3 Th.1, 1946, dengan menggunakan nama Lowogandoeng), dimuat dalam majalah Revue Indonesia berjudul "Permintaanku" (No.6 Th.1, 1946) dan "Kelana" (No.7 Th.1, 1946). Puisinya yang dimuat dalam majalah Pantja Raja berjudul "Musik di Waktu Malam", "Pancaran Hidup", dan "Senyap" (No.17 Th.1, 1946), dan yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe berjudul "Malikalmaut" (No.9 Th.9, 1948) dan "Jakarta" (No.12 Th.9, 1948).
MELAUT BENCIKU
Karya: Amal Hamzah
Melaut benciku terhadap manusia
melaut pula benciku terhadap ku sendiri
karena dalam kelakuan mereka
terlihat olehku prangaiku asli.
Menjilat!
Menipu!
Membohong!
Memeras!
Kelakuan dibuat-buat supaya
perut kosong gendut seperti tong!
Mulut ketawa:
tampak gigi
kuning
tak pernah digosok,
bau mulut busuk bagai bangkai!
Bah!
Inikah yang dinamakan dunia!
Dunia yang penuh tipu-cedera!
Kalau boleh kupinta dulu
aku tak usah lahir ke dunia-tipu
tapi malang!
Aku lahir bukan kehendakku!
Dalam pelukan cinta berahi
tumbuh benih membusuk diri.
Tercampak ke dunia
sebagai hasil nafsu kedua!
Bah!
Kalau boleh kupinta dulu
jangan badan datang ke mari!
c. Rosihan Anwar
Rosihan Anwar lahir di Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, 10 Mei 1922 dan meninggal di Jakarta, 14 April 2011 pada umur 88 tahun. Beliau adalah tokoh pers, sejarawan, sastrawan, dan budayawan Indonesia. Rosihan merupakan salah seorang yang produktif menulis.
Rosihan merupakan anak keempat dari sepuluh bersaudara, pasangan Anwar Maharaja Sutan dan Siti Safiah. Ayahnya adalah seorang demang di Padang, Pantai Barat Sumatra. Dia menyelesaikan Sekolah Rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai pelatihan di dalam maupun luar negeri, termasuk di Universitas Yale dan School of Journalism di Universitas Columbia, New York City, Amerika Serikat.
Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya pada masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Pada masa perjuangan, ia pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia (kini Jakarta). Kemudian pada tahun 1961, koran Pedoman miliknya dibredel penguasa. Pada masa Orde Baru, ia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (1968-1974). Tahun 1973, Rosihan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Namun kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di lehernya, koran Pedoman miliknya ditutup.
Pada 1950, bersama Usmar Ismail ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, ia mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai akhir hayatnya. Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946, mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat.
Rosihan Anwar meninggal dunia pada hari Kamis, 14 April 2011 pukul 08.15 WIB di Rumah Sakit Metropolitan Medika Center (MMC) Jakarta dalam usia 89 tahun. Ia diduga terkena gangguan jantung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.
Rosihan Anwar menikahi Siti Zuraida pada tahun 1947. Zuraida masih terhitung sebagai kerabat Mohammad Husni Thamrin, pahlawan nasional dari Betawi. Pasangan ini dikaruniai tiga anak dan sejumlah cucu.
Rosihan Anwar bersaudara, dikenal sebagai tokoh-tokoh masyarakat. Dua adiknya, Junisaf Anwar dan Yozar Anwar, juga mengikuti jejaknya sebagai wartawan. Junisaf pernah menjadi pemimpin redaksi Antara, sedangkan Yozar terkenal sebagai pimpinan eksponen 1966. Adiknya yang lain Roesman Anwar, meniti karier sebagai profesional dan pernah menduduki jabatan direktur utama Pelni. Kakaknya, Johnny Anwar, adalah mantan kepala polisi Padang pada masa revolusi kemerdekaan yang kemudian menjabat Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) XVIII Sulawesi Selatan-Tenggara pada tahun 1968 dan terakhir sebagai Komandan Operasi Bhakti Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak) di Jakarta (1970-1972) sebelum pensiun. Karena kepejuangannya, namanya kemudian diabadikan sebagai salah satu nama jalan di kota tersebut.
Karya-karya Rosihan Anwar:
1) "Radio Masyarakat" dalam Gema Tanah Air (editor HB Jassin, 1948)
2) Ke Barat dari Rumah (bersama Mochtar Lubis & S. Tasrif, 1952)
3) India dari Dekat, 1954
4) Dapat Panggilan Nabi Ibrahim, 1959
5) Masalah-Masalah Modernisasi, 1965
6) Islam dan Anda, 1962
7) Raja Kecil (novel), 1967
8) Ihwal Jurnalistik, 1974
9) Kisah-kisah zaman Revolusi, 1975
10) Profil Wartawan Indonesia, 1977
11) Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi, 1977
12) Jakarta menjelang Clash ke-I, 1978
13) Ajaran dan Sejarah Islam untuk Anda, 1979
14) Bahasa Jurnalistik dalam Komposisi, 1979
15) Mengenang Sjahrir (editor, 1980)
16) Sebelum Prahara: Pergolakan Politik 1961-1965, 1981
17) Menulis Dalam Air, autobiografi, SH, 1983
18) Musim Berganti, Grafitipress, 1985
19) Perkisahan Nusa: Masa 1973-1985, 1986
20) Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia: Jilid 1-4, 2004-2010
d. H.B. Jassin
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin lahir di Gorontalo Sulawesi Utara, 13 Juli 1917 dan meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000 pada umur 82 tahun. Beliau adalah seorang pengarang, penyunting, dan kritikus sastra berkebangsaan Indonesia. Tulisan-tulisannya digunakan sebagai sumber referensi bagi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kalangan sekolah dan perguruan tinggi dengan menggolongkan angkatan sastra. Dia mendirikan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang kemudian mendapat bantuan gedung dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Karena kiprahnya di bidang kritik dan dokumentasi sastra, dia dijuluki Paus Sastra Indonesia.
Ayahnya bernama Bague Mantu Jassin, seorang kerani Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), dan ibunya bernama Habiba Jau. Setelah menamatkan Gouverments HIS Gorontalo pada tahun 1932, Jassin melanjutkan ke HBS-B 5 tahun di Medan, dan tamat akhir 1938. Tanggal 15 Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI dan kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-59).
Sebelum berangkat ke Amerika Serikat, Jassin pernah berencana untuk menulis disertasi mengenai Pujangga Baru: timbulnya, pertumbuhannya, bubarnya, lengkap dan latar belakangnya. Promotornya pun sudah ada, yakni Prof. Dr. Prijono. Akan tetapi, sepulang dari Amerika Serikat, Jassin tidak pernah lagi berbicara mengenai rencana itu.
H.B. Jassin adalah salah satu dari 16 pegawai negeri yang ditugaskan untuk belajar di Amerika. Beasiswa itu berasal dari Pemerintah Amerika melalui Kementerian PP&K. Surat tugasnya adalah Surat Keputusan Perdana Menteri RI tanggal 17 Juli 1958, No.303/P.M./1958. Dia berangkat dari Jakarta tanggal 21 Juli 1958 dan tiba kembali di Jakarta tanggal 21 Juli 1959.
Enam minggu pertama di sana dia mengikuti Orientation Course di Universitas Indiana, Bloomington. Sejak September 1958 sampai Mei 1959 dia mengikuti perkuliahan di jurusan Comparative Literature di Universitas Yale, New Heaven, Connecticut. Di sana dia mengambil empat mata kuliah: mata kuliah Contemporary Criticism in England, The United States, The European Continent, dan Tolstoy in his European Setting yang diampu Profesor Rene Wellek, ketua jurusan Comparative Literature; mata kuliah Twentieth Century yang diampu Profesor Brooks; dan mata kuliah Theories of Poetry yang diampu Profesor Wimsat.
Jassin sempat menghadiri kongres Comparative Literature Association pada 8-12 September 1958 di Chapel Hill, North Carolina. Dia menghadiri kongres itu atas undangan Profesor Horts Frencz.
Berdasarkan anjuran Menteri PP&K, setelah kuliah di Amerika, Jassin direncanakan untuk mengunjungi Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Tapi, rencana itu tidak terlaksana.
Setelah sempat bekerja sukarela di kantor Asisten Residen Gorontalo selama beberapa waktu, ia menerima tawaran Sutan Takdir Alisyahbana untuk bekerja di badan penerbitan Balai Pustaka tahun 1940. Setelah periode awal tersebut, H.B. Jassin menjadi redaktur dan kritikus sastra pada berbagai majalah budaya dan sastra di Indonesia; antara lain Pandji Poestaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Bahasa dan Budaya, Horison, dan lain-lain.
Bulan Januari 1939 Jassin kembali ke Gorontalo. Antara bulan Agustus dan Desember 1939 Jassin bekerja sebagai voluntair di Kantor Asisten Residen Gorontalo. Akhir Januari 1940 Jassin menuju Jakarta. Mulai Februari 1940 hingga 21 Juli 1947 dia bekerja di Balai Pustaka. Mula-mula dalam sidang pengarang redaksi buku (1940-42), kemudian menjadi redaktur Panji Pustaka (1942-45), dan wakil pemimpin redaksi Panca Raya (1945-21 Juli 1947). Setelah Panca Raya tidak terbit lagi, Jassin menjadi redaktur Zenith dalam Mimbar Indonesia (1951-54), Bahasa dan Budaya (1952-63), Kisah (1953-56), Seni (1955), Sastra (1961-64 dan 1967-69), Horison (sejak 1966), Bahasa dan Sastra (1975).
Karena pemuatan cerpen Kipanjikusmin “Langit Makin Mendung” di Majalah Sastra (Agustus 1968) yang dipimpinnya, Jassin diajukan ke pengadilan. Karena menolak mengungkapkan nama asli pengarang cerpen yang isinya dianggap "menghina Tuhan" tersebut, H.B. Jassin dijatuhi hukuman dilarang menerbitkan sesuatu yang berbau sastra selama satu tahun. Tanggal 28 Oktober 1970, ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Sejak Agustus 1953 Jassin menjadi dosen luar biasa untuk mata kuliah Kesusastraan Indonesia Modern pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Setelah beberapa tahun sebelumnya pergi ke Amerika untuk kuliah, sejak Januari 1961, Jassin kembali menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra UI, tetapi tidak lagi diberi tugas mengajar, melainkan hanya membimbing para mahasiswa yang membuat skripsi, antara lain Boen S. Oemarjati, M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Bahrum Rangkuti, dan lain-lain. Setelah sempat dipecat karena keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan, sejak April 1973 kembali menjadi Lektor Tetap di Fakultas Sastra UI untuk mata kuliah Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern dan Ilmu Perbandingan Kesusastraan.
Di samping mengajar dan mengikuti kuliah, sejak Juli 1954 hingga Maret 1973, Jassin adalah pegawai Lembaga Bahasa dan Budaya, yang sekarang dikenal dengan nama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tanggal 24 Agustus 1970 Gubernur DKI waktu itu, Ali Sadikin, mengangkat Jassin sebagai anggota Akademi Jakarta yang diketuai Sutan Takdir Alisyahbana. Keanggotaan ini berlaku seumur hidup.
Bulan April-Juni 1972 Jassin mendapat Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia. Selama delapan minggu Jassin mengunjungi pusat-pusat pengajaran bahasa dan sastra Indonesia/Malaysia di Australia.
Sejak 28 Juni 1976 Jassin menjadi Ketua Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Yayasan ini mengelola Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang terletak di Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.
Sebelum sepenuhnya berkiprah di bidang kritik sastra, H.B. Jassin sempat menulis cerpen dan puisi. Pada zaman kolonial karya-karyanya dimuat di Volksalmanak, Pandji Poestaka, dan Poedjangga Baroe. Pada zaman pendudukan Jepang karya-karyanya dimuat di Djawa Baroe. Setelah kemerdekaan, karya-karyanya dimuat di Merdeka dan Pantja Raja. Menurut Sapardi Djoko Damono, setelah pertengahan 1940-an, Jassin tampaknya tidak berminat lagi pada penulisan cerpen dan puisi.
Kritik sastra yang dikembangkan H.B. Jassin umumnya bersifat edukatif dan apresiatif, serta lebih mementingkan kepekaan dan perasaan daripada teori ilmiah sastra. Pada awal periode 1970-an, beberapa sastrawan beranggapan bahwa kritik sastra H.B. Jassin bergaya konvensional, sedangkan pada saat itu telah mulai bermunculan para sastrawan yang mengedepankan gaya eksperimental dalam karya-karya mereka.
Kiprah Jassin dalam kritik sastra turut membesarkan nama Chairil Anwar dalam kancah sastra Indonesia. Dalam sebuah tulisan yang memperkenalkan puisi-puisi Chairil, dia menunjukkan ekspresionisme dalam karya-karya tersebut. Selain itu, dia juga menunjukkan letak pembaruan Chairil terhadap konvensi puisi pada masa itu. Dalam tulisan pada zaman pendudukan Jepang itu, dia menyantumkan empat puisi Chairil: "1943", "Hampa", "Sendiri", dan "Selamat Tinggal". Pada tahun 1956, ia membela Chairil Anwar yang dituduh sebagai plagiat, melalui bukunya yang terkenal berjudul Chairil Anwar Penyair Angkatan 45.
Karena pengaruhnya dalam sastra Indonesia, pada tahun 1965, dalam suatu simposium sastra, H.B. Jassin dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia oleh Gayus Siagian.
Selain menulis kritik sastra, Jassin juga banyak menerjemahkan. Salah satu karya terjemahannya menuai kontroversi, yakni terjemahan al-Quran.
Atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan, Jassin menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969. Tanggal 26 Januari 1973 Jassin menerima hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds di Den Haag, Belanda. Hadiah ini diberikan untuk jasa Jassin menerjemahkan karya Multatuli, Max Havelaar (Jakarta: Djambatan 1972). Untuk menghormati jasanya di bidang sastra Indonesia, tanggal 14 Juni 1975 Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Jassin. Atas jasa-jasanya di bidang kesenian dan kesusastraan, Jassin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1983. Pada tahun 1987 dia mendapatkan hadiah Magsaysay dari Yayasan Magsaysay, Filipina. Pada tahun 1994 dia dianugerahi Bintang Mahaputera Nararaya oleh Pemerintah RI.
H.B. Jassin meninggal dunia pada hari Sabtu, 11 Maret 2000 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam usia 83 tahun. Ia meninggalkan empat anaknya yaitu Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Julius Firdaus Jassin, Helena Magdalena Jassin, 10 orang cucu, dan 1 orang cicit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.
Karya-karya H.B. Jassin di Bidang Kritik Sastra:
1) Tifa Penyair dan Daerahnya (1952);
2) Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I-IV (1954, 1967; edisi baru, 1985);
3) Kisah: Sorotan Cerita Pendek (1961);
4) Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1983);
5) Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983);
6) Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993);
7) Koran dan Sastra Indonesia (1994).
Karya-karya H.B. Jassin yang lain:
1) Surat-Surat 1943-1983, kumpulan surat (1984);
2) Darah Laut: Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997)
3) Omong-Omong H.B. Jassin (Perjalanan ke Amerika 1958-1959), otobiografi (1997)
H.B. Jassin sebagai Editor:
1) Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi (1942-1948)
2) Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948);
3) Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1962);
4) Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963);
5) Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968);
6) Heboh Sastra 1968 (1970);
7) Polemik: Suatu Pembahasan Sastra dan Kebebasan Mencipta Berhadapan dengan Undang-Undang dan Agama (1972)
Terjemahan H.B. Jassin:
1) Chusingura karya Sakae Shioya (terjemahan bersama Karim Halim) (1945);
2) Renungan Indonesia karya Sjahrazad (1947);
3) Terbang Malam karya A. de St. Exupery (1949);
4) Api Islam karya Syed Ameer Ali (1966);
5) Cerita Panji dalam Perbandingan karya Poerbatjaraka (terjemahan bersama Zuber Usman) (1968);
6) Max Havelaar karya Multatuli (1972);
7) Cis karya Vincent Mahieu (1976);
8) Cuk karya Vincent Mahieu (1976);
9) Pemberontakan Gudalajara karya J. Slauerhoff (1976);
10) Al Qur'anul'-karim - Bacaan Mulia (1978);
11) Teriakan Kakatua Putih: Pemberontakan Patimura di Maluku karya Joohan Fabricius (1980);
12) Berita Besar (1984);
13) Percakapan Erasmus karya Desiderius Erasmus (1985);
14) Multatuli yang Penuh Teka-Teki karya Willem Frederik Hermans (1988).
e. Idrus,
Idrus lahir di Padang, 21 September 1921 dan wafat 18 Mei 1979 juga di Padang Sumatera Barat. Semasa hidupnya Idrus menikah dengan Ratna Suri pada tahun 1946. Mereka dikaruniai enam orang anak, empat putra dan dua putri, yaitu Prof. Dr. Ir. Nirwan Idrus, Slamet Riyadi Idrus, Rizal Idrus, Damayanti Idrus, Lanita Idrus, dan Taufik Idrus.
Idrus pernah sekolah di HIS, MULO, AMS, dan Sekolah Menengah Tinggi (tamat 1943). Ia meraih gelar Master of Arts dari Universitas Monash, Australia (1974). Ketika meninggal, ia adalah kandidat Ph.D di universitas tersebut.
Idrus pernah menjadi redaktur Balai Pustaka (1943-1949), kepala bagian pendidikan GIA (1950-1952), dan dosen Universitas Monash, Australia (1965-1979). Ia juga pernah menjadi redaktur majalah Indonesia dan Kisah.
Dalam bidang penulisan, ia menulis cerpen, novel, dan drama. Selain itu, ia menerjemahkan karya sastra. Karena tekanan politik dan sikap permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang pro PKI terhadap penulis-penulis yang tidak sepaham dengan mereka, Idrus terpaksa meninggalkan tanah air dan pindah ke Malaysia. Ia tinggal di Malaysia dari 1960 sampai 1964.
Karya-karya Idrus ditulis dengan bahasa sehari-hari yang ringkas, sederhana, dan tanpa hiasan kata-kata. Persoalan yang sering menjadi tema utama karyanya adalah masalah-masalah sosial yang terjadi pada zamannya. Ia membongkar habis keadaan buruk dan kacau pada masa revolusi dan zaman Jepang.
Dalam karyanya ia menonjolkan berbagai kelemahan manusia. Konsep penceritaan semacam ini dipelajarinya dari sastrawan ekspresionis Belanda, Willem Elsschot. Gaya sastra ini memfokuskan pada ketepatan dalam bentuk seharusnya.
Kekhasan gayanya dalam menulis pada masa itu membuatnya memperoleh tempat terhormat dalam dunia sastra, sebagai Pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa, yang dikukuhkan H.B. Jassin dalam bukunya, walaupun Idrus menolak digolongkan ke dalam Angkatan '45.
Idrus juga menulis karya-karya ilmiah yang berkenaan dengan sastra, seperti Teknik Mengarang Cerpen dan International Understanding Through the Study of Foreign Literature.
Karya-karya Idrus dalam bentuk novelsebagai berikut.
1) Aki (1949);
2) Perempuan dan Kebangsaan (1949);
3) Hati Nurani Manusia (1963);
4) Hikayat Petualang Lima;
5) Hikayat Putri Penelope (1973).
Karya-karya Idrus dalam bentuk Kumpulan cerita pendek:
1) Anak Buta;
2) Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948);
3) Dua Episode Masa Kecil (1952);
4) Dengan Mata Terbuka (1961).
Karya Idrus dalam bentuk Drama:
1) Dokter Bisma (1945);
2) Jibaku Aceh (1945);
3) Kejahatan Membalas Dendam (1945);
4) Keluarga Surono (1948).
Karya terjemahan Idrus:
1) Acoka, drama G. Gonggrijp (1948);
2) Ibu yang Kukenang;
3) Keju, novel Willem Elschot (1948);
4) Kereta Api Baja 1496, novel Vsevold Ivanov (1948);
5) Perkenalan, kumpulan cerita pendek Anton Chekov, Guy de Maupassant, Jaroslav Hasek, dan Luigi Pirandello (1949);
6) Roti Kita Sehari-hari
Cerita anak karya Idrus
1) Cerita Wanita Termulia (1952);
2) Gorda (1951);
3) Pesawat Terbang (1951)
Kajian atas karya Idrus sebagai berikut:
Karya Jiwa Atmaja. 1986. Hati Nurani Manusia Idrus
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi, M. 2009. Sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Semarang: PT. Sindur Press
Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. ISBN 9799012120
Eneste, Pamusuk. 1987. H. B. Jassin: Paus Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Goenadi, M. 1962. Sejarah Kesusastraan Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Noor Komala.
Jassin, H.B. 1962. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II. Jakarta: Gunung Agung.
Sumardjo, J. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sumber:http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Amal_Hamzah Ensiklopedi Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar