PERIODESASI SASTRA – BAGIAN II (KEDUA)
(MASA PERKEMBANGAN TAHUN 1945 HINGGA SEKARANG)
Masa perkembangan (1945-sekarang) meliputi:
1. Periode 1945-1953;
2. Periode 1953-1961; dan
3. Periode 1961- sekarang.
I. PERIODE 1945-1953
1. Angkatan ‘45
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang masih mengingatkan kita kepada sastra Melayu. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra.
Chairil Anwar segera mendapat pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang penulisan puisi muncul para penyair Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, P. Sengojo, Dodong Djiwapraja, S. Rukiah, Walujati, Harijadi S.Hartowardoyo, Moch. Ali dan lain-lain. Dalam bidang penulisan prosa, Idrus pun memperkenalkan gaya menyoal-baru yang segera mendapat pengikut luas.
Dengan munculnya kenyataan itu, banyak orang yang berpendapat bahwa sesuatu angkatan kesusastraan baru telah lahir. Pada mulanya angkatan ini disebut Angkatan Sesudah Perang, ada yang menamakannya Angkatan Khairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan dan lain-lain. Pada tahun 1948 Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi.
Tetapi sementara itu, meskipun namanya sudah diperoleh, sendi-sendi dan landasan idealnnya belum lagi dirumuskan. Baru pada tahun 1950, “Surat Kepercayaan Gelanggang“ dibuat dan diumumkan. Ketika itu Khairil Anwar sudah meninggal. Surat kepercayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama “Gelanggang Seniman Merdeka“, yang didirikan tahun 1947.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kalau kami bicara tentang kebudyaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai mengilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudyaan baru yang sehat.
……………………………………………………………….
Jakarta 18 Februari 1950
Sebegitu banyak yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ’45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ’45 hanyalah lanjutan dari yang sudah dirintis angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru.
Pada tahun 1952, H.B. Jassin mengumumkan sebuah essai berjudul “Angkatan ‘45” yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan ’45. Jassin mengatakatan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan ’45 ini dengan para pengarang Pujanggga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan). Essai itu kemudian diterbitkan dalam kumpulan karangan Jassin berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay (1954).
a. Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan tanggal 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai mulo (SMP) dan itu pun tidak tamat kemudian ia belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi.
Dari esai dan sajak-sajaknya jelas sekali ia seorang individualis yang bebas. Dengan berani dan secara demonstratif pula ia menentang sensor Jepang dan itu menyebabkan ia selalu menjadi incaran Kenpetai (polisi rahasia Jepang yang terkenal galak dan kejam).
Sajaknya yang termasyhur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang memberist dan individualis berjudul AKU (di tempat lain diberi judul “Semangat”). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebgai “binatang jalang”, sebutan yang segera menjadi terkenal.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau.
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa ‘ku bawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Selain seorang individualis, Khairil juga amat mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya Diponegero, Kerawang–Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Siap Sedia, Cerita Buat Dien Tamaela, dan lain-lain.
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali Tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Biansa di atas ditindas
Sungguh pun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Meskipun dalam beberapa sajaknya ia sering seolah-olah sinis mengejek nili-nilai moral, termasuk nilai-niai agama, sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Sajaknya yang berjudul Doa menunjukkan perasaan keagamaan yang mendalam.
DO’A
Kepada Pemeluk Teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar sudah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.
Sajak-sajak Khairil merupakan renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan, lukisan perasaan manusia, cinta-kasih, berahi, dan lain-lain. Beberapa sajaknya sangat romantis sepeti Tuti Artic, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain. Dalam sajak Sorga ia sangat sinis mengejek manusia-manusia yang membayangkan sorga dalam ukuran duniawi.
Masih ketika ia hidup, telah timbul heboh karena sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang Dara yang diumumkan lam majalah Mimbar Indonesia atas namanya ternyata plagiat dari sajak Hsu Chih Mo berjudul A Song of Sea. Tatkala sudah meninggal, heboh tentang plagiat ini timbul lagi karena beberapa sajaknya yang lain ternyata berdasarkan sajak-sajak orang lain tanpa menyebut sumbernya. Sajaknya Kerawang-Bekasi ternyata plagiat dari sajak Archibald MacLeish berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga sajak Kepada Peminta-minta, Rumahku dan lain-lain.
Pada tahun 1948, Chairil Anwar menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana tetapi segera pula ditinggalkannya. Ia tak pernah betah lama-lama kerja di suatu kantor dan pada tahun 1949, tanggal 28 April ia meninggal di RSU Pusat Jakarta karena serangan penyakit tipes dan penyakit lain. Ketika dikuburkan dipemakaman karet masyarakat Jakarta menunjukan perhatian yang besar dengan mengirimkan jenazahnya.
Setelah meninggal sajak-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Luput (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950). Yang terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Avin. Tulisan-utlisan Khairil yang tidak dimuat dalam ketiga kumpulan itu kemudian diterbitkan dengan kata pengantar H.B. Jassin berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Dan sajaknya telah diterjemahkan kedalam bahasa asing di antaranya di dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Rusia, Hindi, dan lain-lain.
b. Asrul Sani dan Rivai Apin
Penyair kawan seangkatan Khairil Anwar yang bersama-sama mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka“ ialah Asrul Sani dan Rivai Apin. Ketiga penyair itu biasanya dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Ketiga penyair itu menenrbitkan kumpulaan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950).
Asrul Sani lahir di Riau Sumatera Barat tanggal 10 Juni 1926, ia pertama kali mengumumkan sajak dan karyanya yang lain dalam majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia , tahun 1948.
Asrul Sani seorang sarjana ke Dokteran Hewan yang kemudian menjadi Direktu Akedemi Tater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai DPRGR/MPRS Wakil Seniman.
Sajak-sajak Asrul Sani sangat merdu (melodius). Kata-katanya memberikan citra (image) yang lincah dan segar. Dalam sikap ia seorang moralis yang sangat mencintai dan meratapi manusia dan kemanusiaan. Sajak-sajaknya Mantera dan Surat dari Ibu menunjukkan pandangan hidupnya yang moralis.
MANTERA
Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari ke mari!
Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati.
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa.
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, akan kenal bahagia
Tidak takut pada hitam,
Tiada takut pada kelam
Hitam dan kelam punya aku.
………………………………………
Dalam sajak itu dia mengaku bahwa dirinya sebagai “laksamana dari lautan” dan “panglima dari segala burung rajawali yang menutup segala kota sambil menyebarkan api, supaya janda-janda tidak diperkosa” dan supaya “budak-budak tidur di pangkuan bunda.”
Cerpen-cerpen Asrul Sani melukiskan betapa halus perasaannya pada manusia; meluiskan kehidupan manusia yang hanya menyebabkan kemalangan dan penderitaan sendiri. Beberapa cerpen karangan Asrul Sani yang terkenal antara lain yang berjudul “Bola Lampu, Sahabat Saya Cordiaz, Si Penyair Belum Pulang, Perumahan Bagi Fadjria Novari, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat, Museum, Panen “ , dll.
Rivai Apin lahir di Padang Panjang tanggal 30 Agustus 1927. Sajak-sajaknya tidak semerdu sajak-asajak Asrul, tetapi berat dengan masalah yang mau sungguh-sungguh. Sejak masih duduk di sekolah menengah, ia telah mengumumkan sajak-sajak dalam majalah-majalah terkemuka. Ia pernah duduk sebagai anggota redaksi Gema suasana, Gelanggang, dan Zenith. Tahun 1954 ia melaksasnakan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya. Ia keluar dari redaksi Gelanggan dan beberapa waktu kemudian ia masuk kelingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
c. Idrus
Lahir di Padang tanggal 21 September 1921. Ia pelopor angkatan 45, lulus dari sekolah menengah, ia bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Di sanalah ia mulai menaruh perhatian kepada sastra. Pada zaman Jepang ia menulis beberapa cerita romantik tentang pemuda yang berjuang untuk Asia Timur Raya seperti Ave Maria dan dramanya Kejahatan Membalas Dendam. Tapi, ketika melihat kesengsaraan dan kemelaratan rakyat di bawah kaki Nippon, ia meninggalkan cerita romantik, dan mulai menuliskan cerita-cerita yang melukiskan realitas kehidupan sehari-hari. Sesudah masa revolusi tulisannya diumumkan dengan judul ‘Corat-Coret di Bawah Tanah’. Cerita ini melukiskan tentang kehidupan rakyat di zaman Jepang secara sinis dan kasar. Sikap sinis dan kasarnya diperlihatkan dalam karangannya Surabaya, sampai-sampai ia disebut “Kontra Revolusi “.
Karangan-karanagan itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul ‘Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ (1948). Cerita lainnya adalah Aki (1940) yang merupakan kidah simboliknya dengan maut. Di samping itu ada sebuah sandiwara dengan judul ‘Keluarga Surono’ (1948) terbit di Medan.
Ketika Idrus memimpin majalah kebudayaan bernama Indonesia, Idrus menulis tentang para pengarang antara lain, “Sutan Takdir Alisyahbana sebagai pengarang roman. Ia juga memuat roman Autobiografisnya berjudul ‘Perempuan dan Kebangsaan’ (1949), tapi roman ini dianggap gagal.
Setelah keluar dari Balai Pustaka ia bekerja di GIA (Garuda Indonesia Airways). Tahun 1953 ia muncul dengan cerpennya dalam majalah Kisah. Di lapangan penerjemahannya ia berjasa telah memperkenalkan pengarang Rusia Anton Chekhov (1883–1923), pengaran Belgia William Elsshot (1882) dll. Kemudian ia pindah ke Kuala Lumpur dan mendirikan perusahaan penerbitan. Buku yang diterbirkannya yaitu, ‘Dengan Mata Terbuka’ (1961), ‘Hati Nurani Manusia’ (1963).
d. Achadiat K. Mihardja
Meskipun pada zaman revolusi ia sudah menerbitkan dan memimpin majalah Gelombang Zaman, nama Achdiat tidak peernah disebut-sbut dalam dunia sastra sampai ia muncul dengan romannya Atheis (1948). Ia dilahirkan di garut pada tanggal 6 Maret 1911.
Roman itu melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia dalam menghadapi berbagai pengaruh dan tantangan jaman. Tokoh Utamanya seorang pemuda kelahiran desa bernama Hasan. Pada masa kecilnya hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama Islam dan pengikut suatu aliran tarikat tapi ketika ia bekerja di kota, jauhlah ia dengan kehidupan agama.
Apalagi ketika akhirnya bertemu dengan kawan sekolahnya yangbenama Rusli yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai seorang ateis. Hasan yang kesadaraan agamanya hanya secara tradisional saja mudah sekali terombang-ambing. Perkataan-perkatan Rusli yang berpandangan Marxis mengguncangkan imannya. Terutama ketika ia jatuh cinta kepada seorang janda muda bernama Kartini, kawan Rusli, yang menurut analisis Rusli menjadi korban kekejaman. Kartini ketika masih gadis dikawinkan oleh orang tuanya dengan arab yang menjadi lintah daraat.
Hasan terombang-ambing jiwanya: menjadi atheis dan menjadi seorang beragama yang taat pun tidak lagi. Dalam suasana terombang ambing itu, Hasan mengalami berbagai cobaan pula: kekurangajaran anak warung menyebabkan Hasan selalu hidup dalam cemburu terus-terusan karena kelihatan mau mengganggu Kartini, hubungan dengan orang tuanya yang memburuk, ketakutannya akan siksa neraka dan lain-lain.
Roman ini bentuknya sangat istimewa dan orosinil. Sebelumnya tak pernah ada roman seperti itu di Indonesia, baik struktur maupun persoalannya. Flash-back bukan untuk pertama kali dipergunakan dalam penulisan roman Indonnesia. Bahkan Azab dan Sengsara yang terbit 1920 juga menggunakan cara flash-back. Tetapi cara Achdiat menggunakan flash-back sangat menarik: Atheis dibuka dengan suatu adegan ”si aku” pengarang bersama Kartini mencari berita tentang Hasan. Hasan ketika itu sudah mati. Kemudian, si aku mengisahkan pertemuan dengan Hasan yang memberikan karangan berdasarkan pengalaman hidupnya. Maka mulailah cerita Hasan sampai hubungan dengan orang tuanya mencapai krisis.
Tentang roman atheis ini seorang sarjana sastra Dra. Boen Sri Oemarjati telah menerbitkan berjudul Roman Ateis (1963).
Dia pernah bekerja menjadi pemimpin Balai Pustaka, kemudian pindah ke Jawatan Kebudayaan sampai pensiun. Tahun 1959 ia mengajar sastra modern di Fakultas Sastra UI dan tahun 1962 mengajr drama Indonesia modern di The Australian National University, Canbera.
Achdiat bukan pengarang yang produktif. Beberapa tahun lamanya setelah Atheis ia hanya menerbitkan Polemik Kebudyaan (1948) yang merupakan kumpulan polemik sebelum perang dan drama anak berjudul Bentrokan dalam Asmara (1952). Baru pada tahun 1956 terbit pula karya sastranya berjudul Keretakan dan Ketenangan yang merupakan cerpen dan drama satu babak dan mendapat hadih sastra nasional dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1955 – 1956.
Dalam cerpennya dan dramanya itu, Achdiat secara halus dan tajam melukiskan o-ka-ba (Orang Kaya Baru) yang penuh kesibukan dan kegermelapan, tetapi sesungguhnya kosong dan hampa. Tahun 1961 terbit cerpen Kesan dan Kenangan.
e. Pramoedya Ananta Toer
Dilahirkan di Blora pada tanggal 2 Pebruari 1925, mulai mengarang sejak zaman Jepang dan masa revolusi, Kranji dan Bekasi Jatuh (1947). Meskipun demikian, baru menarik perhatian duna sastra Indonesia tahun 1949 ketika cerpennya Blora yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara pengaran yang diadkan oleh Balai Pustaka. Blora ditulis dalam gaya yang sangat padat dan menyenakkan. Cerpen itu kemudian bersama dua buah cerpen lainnya yang juga ditulis Pram dalam penjara ditebitkan menjadi sebuah buku berjudl Subuh (1950).
Roman Keluarga Gerilya (1950) dan cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu bersama sama beberapa cerpen yang ditulisnya sebelumnya diterbitkan dalam buku yang berjudul Percikan Revolusi (1950).
Perburuan ialah sebuah cerita fiksi (rekaan) yang berdasarkan pemberontakan PETA yang gagal terhadap Jepang, karena salah satu orang di antara shodancho yang akan berontak itu berkhianat. Selanjutnya Pram membahas kesetiaan manusia: ketika shodancho Hardo yang menyamar sebagai kere bertemu dengan bakal mertuanya, dengan ayahnya, ia hanya menemukan kekecewaan saja. Bakal metuanya berkhianat lapor pada Jepang dan ayahnya yang dicopot dari kekdudukanya sebagai wedana menjadi penjudi. Semua perisitwa itu dipadatkan pengarang terjadi dalam tempo sehari semalam.
Juga dalam roman Keluarga Gerilya peristiwa-peristiwa yang terjaadi dipadatkan dalam tiga malam saja. Keterangan di bawah judul bukunya, “Kisah keluarga manusia dalam tiga hari tiga malam saja.”
Pram ialah seorang yang sangat produktif menulis, tak henti-hentinya ia menulis, Mereka yang Dilumpuhkan (dua jilid, terbit 1951 – 1952) merupakan pengalamannya selama dipenjara; Cerita dari Blora 1952 mendapat hadiah sastra nasional BMKN. Tahun 1952 menerbitkan kumpulan cerpennya Di Tepi Kali Bekasi 1950. Sebuah roman yang melukiskan perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Krawang dan Bekasi; Bukan Pasar Malam 1951, Gulat di Jakarta 1953, Korupsi 1954, Midah si Manis Bergigi Emas 1954, Cerita dari Jakarta 1957, dll.
Dalam cerpennya Dia yang Menyerah yang dimuat dalam buku Cerita dari Blora Pram melukiskan sebuah keluarga yang menjadi korban pemberontakan PKI di Madiun 1948. Dalam cerita itu ia mengutuk PKI. Tetapi, sikapnya terhadap PKI berubah sejak pertengahan tahun 1950-an.
Pada awal tahun 1960 ia sudah masuk menjadi seorang anggota pimpinan LEKRA yaitu sebagai seksi seni sastra dari Lekra dan memimpin grup Lentera yang melalui surat kabar Bintang Minggu tak habis-habisnya menyerang para pengarang yang tidak sependirian dengan mereka dengan berbagai fitnah dan insinuasi. Karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing yaitu: Inggris, Belanda, Rusia, Cina, dan Jepang dll.
Semasa menjalani hukuman di Pulau Buru, Pram menulis kwartet Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang sempat dilarang beredar pada masa Orde Baru dan baru bisa dinikmati secara bebas beberapa tahun setelah rejim orba jatuh melalui gerakan Reformasi 1997. Dalam kwratet itu Pram melukiskan masa awal tumbuhnya nasionalisme untuk melawan pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda melalui sinergi tokoh Nyai Ontosoroh, seorang gundik Belanda, Tuan Melema, dan anak pribumi bernama Minke.
Semangat perlawanan dimulai ketika hak asasi mereka diinjak-injak kaum penjajah. Annelis, kekasih sekaligus istri Minke dan anak kesayangan Nyai direnggut secara paksa oleh hukum kolonial. Annelis diambil paksa harus meninggalkan tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintainya di Hindia Belanda.
f. Mochtar Lubis
Terkenal sebagai wartawan surat kabar yang dipimpinnya adalah : Indonesia raya dan dilarang terbit pada tahun 1958. Ia sendiri sejak tahun 1956 ditahan denga tuduhan yang bukan-bukan, hampir 9 tahun ia disekap oleh rezim pemerintahan SEKARNO dan dikeluarkan pada tahun 1966. Setelah keluar ia bersama H.B. Yassin , Taufik Ismail, arief Budiman, Goenawan, Mohammad. Dll menerbitkan dan memimpin majalah Sastra “ HORISON “.
Ia lahir di Padang tanggal 7 Maret 1922. Buku romannya yang pertama berjudul Tak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952) dan mendapat hadih sastra nasional dari BMKN. Roman ketiga berjudul Senja di Jakarta menceritakan tentang kehidupan politik kotor para koruptor, manipulator, dan propiteur di Jakarta dengan latar belakang kehidupan rakyat jelata.
Roman Jalan Tak Ada Ujung menceriterakan kehidupan jiwa seorang guru yang senantiasa dalam ketakutan pada masa revolusi. Roman ke 4 berjudul Tanah Gersang 1966 menceriterakan tentang motif kejahatan anak-anak yang tidak mendapat cinta dan perhatian yang cukup dari orang tuanya. Ia juga menulis cerpen dan esai (sering menggunakan SAVITRI), kumpulan cerpen yang ditulisnya yaitu SI JAMAL dan PEREMPUAN.
g. Utuy Tatang Sontani
Lahir di Cianjur tahun 1920. Terkenal sebagai pengarang drama. Drama pertama berupa drama sajak berjudul “Suling“ 1948. Drama kedua berjudul Bunga Rumah Makan 1948 “Awal dan Mira“ 1952 yang mendapat hadiah dari sastra nasional BMKN . Namun drama Utuy yang terkuat dan terbaik berjudul “Selamat jalan anak kufur“. Romannya yang berjudul “TAMBERA “ yang sampai sekarang dianggap salah satu roman terpenting angkatan 45.
h. Sitor Situmorang
Lahir di Harianboho, Tapanuli tanggal 2 ktober 1942. Mulai terkenal tahun 1953, ketika menulis sajak, drama, cerpen, esai, dll. Sajaknya pertama berjudul “ Surat Kertas Hijau “ 1954. Sajaknya kedua berjudul “Dalam Sajak“ 1955.
Ada jugamnerbitkan darama yang berjudul “ Jalan Mutiara “ 1945 dan kumpulan cerpennya yang berjudul “Pertempuran dan Salju “ di Paris 1956, sajak yang dibuatnya berjudul “ Lagu Gadis Italia “.
Kerling danau dipagi hari
Lonceng Gereja bukit Italia
Jika musimmu tiba nanti
Jemoputlah abang diteluk napoli
…………………………………
…………………………………
Menjelang akhir tahun lima puluhan , ia aktif dalam dunia politik praktis, tahun 1959 ia menjadi ketua pertama dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajaknya di ganti dalam kumpulan bahasa gombastis dan slogan-slogan murah, sajaknya termuat dalam kumpulan yang berjudul “ Zaman Baru “ 1962 dan tahun 1966 ia ditahan dan disangka terlibat gestapu PKI.
i. Dodong Djiwa Pradja
Dodong sudah melukis sejak sekitar tahun 1948. Sajaknya Cita-Cita yang dimuat dalam majalah GEMA SUASANA takala masih diasuh oleh CHAIRIL ANWAR, merupakan salah satu sajak yang jernih.
Ia dilahirkan di Garut tanggal 28 September 1928. Selain menulis sajak ia juga menulis cerpen dan esai. Citra puisi pada sajaknya menemukan bentuknya yang sederhana, orisinil dan plastis. Pada tahun enam puluhan, Dodong merupakan saslah seorang penyair Indonesia terkuat selain Rendra.
Salah satu sajaknya yang dibuat pada tahun 1963 adalah:
NYANYIAN PAGI HARI
Dekapan pada hati, rumput-rumputmu, gunung-gunungmu
Tuang dan basuh muka dengan linang embunmu
Nyaman air, tercuci kaki berderai kerikil kali
Lebih indah dari impian, kenyataan diluar impian
…………………………………………………………….
…………………………………………………………….
Dekaplah, dekapkan pada hati
Rumput hijaumu
Gunung birumu
Dan langitmu yang bagai telur
Meskipun ia telah menulis sajak yang cukup banyak tapi ia belum berhasil membukukannya.
j. Harjadi Hartowardojo
Nama lengkapnya Harjadi Sulaeman Hartowardojo, mulai mengumpulkan sajaknya sekitar tahun 1950. Sebagian besar dari sajak pada masa-masa itu kemucian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku yang berjudul LUKA BAYANG, kumpulan sajak-sajaknya tahun 1950 – 1953 – 1963.
Harjadi dilahirkan di Prambanan tanggal 18 Maret 1930. Ia pernah bekerja pada redaksi majalah Pujangga Baru ( sesudah perang ) . Kemudian hidup sebagai wartawan di berbagai majalah dipenerbitan antara lain: Garuda, Siasat, surat kabar Pedoman dan membantu berbagai majalah. Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakrta. Ia tamatan Fakultas Publikasti dan Fakultas Psikologi. Ejak tahun 1968 pada bulan Juni, Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja.
Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakarta. Ia tamatan Falkutas Publikastik, dan Fakultas Psikologi. Sejak tahun 1968 ( Juni ), Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja.
Salah satu karyanya adalah :
ANJING MAKAN AKAR KAYU
Mari bone
Beta cari gadis, cari nona,
Beta tukar sirih pinang
Bersama melangkah, bersama berlagu
Menunggu bulan naik bulan terang
Siku beta main di dada
Semalam saja, besok
Berpasar sejam
Dansa, hail
Melangkah, hail
berputar dalam lingkaran
berbaris
Tangan berkepit-kepit
Sahut hormati beta punya lagu
Asa asu bukae hau baat
……………………………….
……………………………….
Selain menulis sajak ia juga menulis esei, serpen, dan roman. Esei terbaiknya di tulis pada tahun pertama lima puluhan. Cerpen-cerpennya masih berserakan, majalah-majalah yang memuatnya Roman yang dibuatnya berjudul MUNAFIK mendapat ajakan ikatan Penerbit Indonesia ( IKAPI ) Jawa Barat 1967.
Dalam romannya Harjadi melukiskan konfik tentang kisah cinta antara pemuda dan pemudi yang berlainan agama dan juga ras. Di dalam masyarakat kampung yang tradisional dengan cara berpikir
Meskipun di sana-sini roman ini menunjukkan kekurangan dalam kmposisi ceritanya, namun roman ini mempunyai daya saran/daya pengikat yang mencekam hampir secara magis, yang membuktikan ia sebagai penulis prosa.
k. MH. Rustandi Kartakusama
MH. Rustandi Kartakusama larih di Ciamis tanggal 21 Juli 1921. Beliau banyak sekali menulis esai. Esai-esainya ditulis dengan bahasa dan gaya yang sinis berkelekar, memberikan latar belakang yang luas. Meskipun kadang-kadang terasa tidak menunjukkan lapang dada. Sikap dan pendapat beliau banyak orang tidak setuju, akan tetapi esai-esainya tetap berharga untuk dibaca. Beliau muncul dengan hasil karya dan buah tangannya pada akhit tahun empat puluhan dan beliau tidaklah tepat disebut angkatan 45’ sebab karya beliau sangat berbeda dengan angkatan 45’ dari segi bentuk atau isinya dan beliau sendiripun tidak mengaku sebagai angkatan 45’.
Adapun hasil karya beliau sebagai berikut:
a. Esai-esai tentang sastra, seni, dan filsafat diantaranya: “Adam dan Si Anak Hilang“, “Homo Faber“, “Surat dari Cidadap Girang“, dimuat dalam majalah kebudayaan Indonesia. Dan esia-esai lainnya tentang “Ciliung“ dimuat dalam majalah gelanggang/siasat.
b. Drama yang terbit pada tahun 1950.
Sajaknya Prabu dan Putri yang disebutnya “Sebuah Tragedi“, ini merupakan saduran dari sebuah cerita Pandji yang menceritakan bahwa segi percakapan tokoh-tokohnya nampak kecendrungan kepada pemikiran filosofis, percakapan tentang hidup, mati, ada dan tidak ada, keabadian, bahagia, dan lain-lain. Dan drama ini sulit dipentaskan.
Drama yang lain berjudul “Merah Semua Putih Semua“ (1961) menceritakan atau melatarbelakangi masa revolusi fisik melawan Belanda, yang berbentuk novela.
c. Dari drama beliau juga menulis skenario yang berjudul “Lagu Kian Mendjauh“ (1959) menceritakan tentang kehidupan seorang seniman musik yang mana dalam kehidupannya terlibat cinta terhadap seorang gadis orkes yang di pimpinnya.
d. Beliau juga menulis sajak, yang berjudul sebagai berikut: Rekaman dari Tudjuh Daerah (1951) ini merupakan sajak yang paling tebal terbit di Indonesia. Sajak yang berdasarkan kisah-kisah lama dari Lutung Kasarung, dan kisah Singasari dalam Kartanagara, dan kisah Adam dan Hawa dalam Paradise Lost, dan lain-lain.
PARA PENGARANG WANITA
1. Ida Nasution.
Ida Nasution adalah pengarang esai yang berbakat dalam menulis esai yang dimuat dalam majalah-majalah. Tapi nasib beliau malang karena menjadi korban revolusi dan hilang dalam perjalanan Jakarta-Bog0r (1948).
2. Walujati.
Lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1942. Mulai menulis sajak pada masa-masa awal revolusi, sajak berjudul “Berpisah“ merupakan sejak romantik yang mendapat pujian dari Chairil Anwar. Dan pada tahun 1950 Walujati mengumumkan sebuah roman yang berjudul “Pudjani“ dan masih banyak lagi roman yang beliau tulis tak kunjung terbit.
3. St. Nuraini.
Lahir di Padang tanggal 6 Juli 1930. Beliau mnulis sajak, cerpen, esai, dan menterjemahkan hasil sastra asing. Salah satu sajak beliau yang sangat lembut dan halus sekali melukiskan perasaan sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.
4. S. Rukiah.
Lahir di Purwarkarta tanggal 25 April 1972, beliau juga menulis sajak dan bahkan dimuat dalam bukunya “Tandus“ (1952) mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1952 untuk puisi. Selain itu beliau juga menulis roman yang berjudul “Kejatuhan dan Hati“ (1950) yang mengisahkan tentang perasaan wanita yang jatuh cinta kepada seorang politikus tetapi kemudian terpaksa kawin dengan pedagang pilihan ibunya.
5. Suwarsih Djojopuspito
Lahir di Bogor tanggal 20 April 1912. Hasil karyanya berupa roman yang ditulis dalam bahasa Belanda berjudul “Buiten Het Gareel (diluar garus)” terbitan tahun 1941. Roman ini menceritakan kehidupan kaum pergerakan nasional Indonesia, terutama di lingkungan perguruan pertikelir (taman siswa) pada tahun tiga puluhan. Sebelum beliau menulis roman bahasa belanda beliau menulis roman dengan bahasa Sunda akan tetapi roman ini ditolak Balai Pustaka. Lalu beberapa tahun kemudian beliau (1959) menerbitkan roman yang berbahasa Sunda tahun 1937 berjudul Marjanah. Setelah itu beliau menulis cerpen yang pertama berjudul Tudjuh Tjerita Pendek (1951) yang kedua berjudul Empat Serangkai (1954). Dan banyak lagi kumpulan-kumpulan cerpen yang belum dibukukan.
BEBERAPA PENGARANG LAIN
Kecuali para pengarang yang tadi sudah dibicarakan, masih banyak lagi para pengarang lain yang memulai atau mengajukan aktivitasnya pada tahun-tahun 1945-1953. Misalnya Barus Siregar (lahir di Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul Busa di Laut Hidup (1951). Zuber Usman (lahir di Padang tanggal 15 Desember 1916) menerbitkan sekumpulan cerpen yang berjudul Sepanjang Jalan. Dengan beberapa cerita lain (1953). Sk. Muljadi (lahir di Madiun tanggal 23 Desember 1925) menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya yang berjudul Kuburan (1951). Saleh Sastrawinata (lahir di Majalengka tanggal 15 Juli 1915), menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Kisah Swajarnya (1952), S. Mundingsari yang nama sebenarnya Suparman (lahir tanggal 24 April 1922) menebitkan sebuah roman berjudul Jaya Wijaya (1952).
Muhannad Dimyati yang kadang-kadang menggunakan nama samaran Badaruzzaman (larih di Solo sekitar tahun 1914) menerbitkan sekumpualn cerpen berjudul Manusia dan Peristiwa (1951), R. Sutomo menerbitkan sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950), Rustam St. Palindih menerbitkan dua buah sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949), dan Cendera Mata (1950), di samping itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung Kasarung (1949) dan lain-lain.
Di samping itu ada pula pengarang-pengarang yang belum berhasil menerbitkan buah tangannya menjadi buku. Karangan-karangan mereka dimuat dalam majalah-majalah yang terbit pada masa itu. Gajus Siagian (lahir di Porsea, Tapanuli tanggal 5 Oktober 1920), P Sengojo atau Suripman (lahir 1927), Dodong Djiwapradja (lahir di Garut tahun 1928), Muh Ali (Lahir 1927), Mahatmanto atau Abu Chalis atau Sang Agung Murbaningrad atau Sri Amarjati Murbaningsih yang ke semuanya nama samaran Suradal A. Manan (lahir di Kulur, Yogyakarya, tanggal 13 Agustus 1924), Sirulllah Kaelani yang kadang-kadang menggunakan nama S.K Insankamil (lahir di Ciledung, Cerebon, tanggal 22 Pebruari 1928), Darius Marpaung (lahir di Porsea 1928), Harijadi S. Hartowaddojo (lahir di Prambanan 18 Maret 1930), Abas Kartadinata (Lahir di Bandung 1930), Kasim Mansur (lahir di Surabaya1922) dan lain-lain.
1) P. Sengojo
Nama sebenarnya ialah Suriman, lahir di daerah Ungaran, tanggal 25 November 1926. Kalau menulis sejak ia menggunakan nama samaran P. Sengojo atau Piet Sengodjo. Nama Suripman dipergunakannya apabila ia menulis prosa, baik esai maupun cerpen.
Sajak-sajaknya surrealistis. Batas antara kenyataan dan angan-angan demikian titpis sehingga kabur-berbaur. Dalam sajak-sajaknya suasana samar-samar dan remang-remang, dunia yang maya terasa mendasari. Dalam beberapa hal ia melakukan percobaan-percobaan dengan bahasa, keluar dari kebiasaan yang umum.
MENCARI ANGIN
Perahu yang melancar di atas ke permukaan air yang kemilau dalam cahaya surya bermain ---------------
Aku yang merasa tenang dalam kegirangan yang meresap dari pohon di hadapan --------
Burung yang terbang lalu melayang di atas embusan angin---------------------
Aku dan engkau yang tiada berpandangan lagi, dan alam bebas melepaskan kita berdua---
Makin yang berharap menimbulkan bahagia ----------------------------
Ah, kita berdua telah saling percaya.
(Gelanggang/Siasat, 1953)
Lebih tenang dan lebih tajam, mengesan serta menyaran, ialah esai-esainya yang pada tahun 1952, 1953, 1954 memenuhi lembaran-lembaran majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta dengan judul umum Pecahan Bertebaran. Dalam esai-esainya itu ia menunjukkan bahwa di samping mempunyai erudisi yang luas, ia merupakan seorang yang waspada-tajam melihat situasi nyata yang hidup di sekelilingnya. Ia pun menunjukkan minat yang besar terhadap sastra dan nilai-nilai kebudayaan lama (Jawa).
Cerpen-cerpennya jumlahnya tidak banyak. Umumnya melukiskan kehidupan kampung dan pedesaan, di mana impian seorang naturalis tidak menemukan kenyataan. Banyak yang absurd.
2) M. Ali
Nama lengakpnya Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari keturanan India. Ia menulis sajak, cerpen dan sandiwara. Banyak dimuat dalam majalah-majalah Pudjangga Baru, Zenith, Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Konfrontasi, Indonesia dan lain-lain. Cerpen-cerpen, sajak dan sandiwara yang terbaik kemudian dibukukan dalam sebuh kumpulan berjudul Hitam atas Putih (1959). Dalam karangan-karangannya tampak sekali perhatiannya terdahap masalah-masalah sosial dan kehidupan masyarakat. Sandiwara radio yang dimuat dalam buku itu berjudul Lapar merupakan gambaran tentang orang-orang yang karena lapar bersedia menjual apa pun juga miliknya untuk sekadar pengisi perut termasuk menjual anak dan dirinya sendiri. Dalam sebagian sajaknya, juga maslah ketuhanan dan keyakinan agama menjadi perhatiannya.
KEPADA GADIS CINTAWATI
Apakah hidup ini, jika tiada mati?
Dan betapa Mati kija bukan kebangkitan kembali?
Setelah kau berkisah tentang kasih dan benci?
Sudah kugali lubang di bumi
Buat tempatku tinggal abadi
Segala berkata: inilah mimpi!
Musim-musim silih berganti
Wangi senja warena-wareni
Menyanyikan kebesaran mati
Dan orang ini ……………..
Yang mengebung-mengempis mengisi hari
Akan menyerah kepada mati
Dan bila kubangun rumah di sini
batu demi batu kususun rapi
atas napas ke napas yang menggendor sepi
Cintawati, kukasihi engkau, seperti murai
Ngagumi fajar dan embun pagi
Dan aku tahu: kau pun pasti hilang kembali
Kecuali yang dimuat dalam hitan atas Putih itu, masih benyak lagi karangan-karangannya yang belum dibukukan, baik cerpen maupun sajak. Beberapa buah karangannya yang lebih panjang dari cerpen telah diterbitkan berupa buku-buku kecil di Surabaya, antaranya 5 Tragedi (1954), Siksa dan Bayangan (1955), Persetujuan dengan Iblis (1955) dan Kubur Tak Bertanda (1955). Umumnya nilainya di bawah karangan-karangan yang dimuat dalam Hitam atas Putih.
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi, M. 2009. Sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Semarang: PT. Sindur Press
Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. ISBN 9799012120
Eneste, Pamusuk. 1987. H. B. Jassin: Paus Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Goenadi, M. 1962. Sejarah Kesusastraan Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Noor Komala.
Jassin, H.B. 1962. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II. Jakarta: Gunung Agung.
Sumardjo, J. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern 1. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Amal_Hamzah | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar