GENRE SASTRA
Karya sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan
bentuk fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun
bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala
wujud dan dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini
memudahkan proses pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponen-komponen
yang turut membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga
bentuk karya sastra tersebut.
a. Puisi
Puisi adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya
dan memuat pengalaman yang disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang
terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan
ditafsirkan secara estetik. Susunan kata dalam puisi relatif lebih padat
dibandingkan prosa. Kehadiran kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan
dari berbagai segi: makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan
simboliknya. Sebagai alat, kata-kata dalam puisi harus mampu diboboti oleh
gagasan yang ingin diutarakan penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus pula mampu membangkitkan tanggapan
rasa pembacanya. Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan
puisi itu dalam istilah kesusastraan dikenal sebagai lisentia poetica. Istilah
ini menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi penyair untuk mematuhi atau
menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan penyimpangan ini haruslah
mempertimbangkan tercapainya kepuitisannya.
Dari segi bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi
bebas. Puisi terikat dapat dikatakan sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan
oleh masyarakat lama, seperti pantun, syair, dan gurindam.
Puisi baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai
puisi modern yang mulai muncul pada masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh
Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi modern dilahirkan dalam
semangat mencari kebebasan pengucapan pribadi. Puisi modern dapat dianggap
sebagai bentuk pengucapan puisi yang tidak menginginkan pola-pola estetika yang
kaku atau patokan-patokan yang membelenggu kebebasan jiwa penyair. Dengan
demikian, nilai puisi modern dapat dilihat pada keutuhan, keselarasan, dan
kepadatan ucapan, dan bukan terletak pada jumlah bait dan larik yang
membangunnya.
Sebagai sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi
sebagai salah satu ragam penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan
tetapi, bentuk komunikasi dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak
mempunyai bentuk hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap secara
langsung, (2) pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman
pesan tidak terjadi secara otomatis, dan (3) berbeda dengan komunikasi lisan,
karena komunikasi sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya
tempat, waktu, dan peristiwa.
Untuk mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus
menciptakan kontak, dalam arti membaca teks sastra dan melakukan penghayatan.
Kontak ini bisa terjadi apabila pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem
tanda dalam puisi yang diapresiasi. Hanya melalui hubungan yang demikian
komunikasi dapat berlangsung dan karya sastra mendapatkan maknanya.
Gejala komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan
dengan sejumlah fungsi bahasa seperti fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3)
puitik, (4) fatis, (5) metalingual, dan (6) konatif (Jacobson, dalam Teeuw,
1984).
Fungsi emotif mengacu pada fungsi bahasa untuk
menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan
sikap penyair.
Fungsi referensial mengacu pada fungsi bahasa
untuk menggambarkan objek, peristiwa, benda ataupun kenyataan tertentu sejalan
dengan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap yang kita sampaikan, misalnya
dalam pernyataan Aku ini binatang jalang di tengah kumpulan terbuang.
Fungsi puitik yakni fungsi bahasa untuk
menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam lambang kebahasaan itu sendiri.
Untuk memahami makna binatang jalang misalnya, pembaca dapat
menggambarkannya sebagai (mahluk bernyawa, kuat, liar, tidak terikat, tidak
tergantung pada yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari binatang
jalang.
Fungsi fatis, mengacu pada konsepsi bahwa bentuk
kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi juga bisa digunakan untuk fungsi
mempertahankan hubungan guna menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan
bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya, ketika kita membawa keranjang
belanjaan, kita mungkin mendapat pertanyaan, Dari pasar? Kita tentunya
hanya menjawab Ya! karena ujaran tersebut hanya untuk menciptakan
keakraban atau hubungan sosial dan tidak mempunyai gagasan atau konsepsi
apapun. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa yang berkaitan dengan fungsi fatis
bisa juga muncul apabila penggunaan bahasa itu hanya sekedar hiasan, sarana
pemandu bunyi, atau sekedar kelayakan saja.
Fungsi konatif berisi konsepsi bahwa peristiwa
bahasa dalam komunikasi berfungsi menimbulkan efek, imbauan, ataupun dorongan
tertentu penanggapnya, misal ketika kita membaca tulisan Awas jalan licin mungkin
secara refleks kita akan mengurangi kecepatan dalam berkendaraan atau berjalan.
Dalam membaca karya sastra, fungsi konatif itu berkaitan dengan efek pemahaman,
misalnya, tentang nilai kehidupan yang mendorong kesadaran batin pembaca untuk
melakukan ataupun menghayati pemahaman yang diperoleh itu dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi
sebagai suatu struktur makro keberadaannya terkait dengan penyair, konteks,
gagasan, sistem tanda yang terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana
kontak dengan pembaca (penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan
komponen mikro, yakni komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara
internal. Jelasnya suatu puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2)
kata-kata atau diksi, dan (3) penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan kontak
dengan pembacanya.
Unsur keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh
penggunaan unsur bunyi yang juga mempunyai berbagai macam karakteristik,
seperti asonansi, disonansi, aliterasi, rima, dan irama.
Untuk memahami makna puisi, kita akan menemukan makna
literal, pengertian tersirat, dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan
makna yang digambarkan oleh kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan
dalam kehidupan sehari-hari. Ketika membaca larik puisi Aku ini binatang
jalang, misalnya, kata aku akan memberikan gambaran seseorang
sebagai persona, misalnya penyair. Sementara kata binatang jalang
membentuk gambaran dari sesuatu yang disebut binatang jalang.
Dalam kesadaran batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang disebut
singa, harimau, atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja
tidak memuat informasi ataupun pengertian bahwa ’aku ini merupakan hewan
harimau’. Gambaran bahwa aku merupakan binatang jalang hanya merupakan
perbandingan atau metafora aku layaknya atau bagaikan binatang jalang.
Dengan kata lain, menggambarkan aku seperti singa atau harimau
memuat pengertian yang tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita
mestilah memahami gambaran ciri singa ataupun harimau yang layak
diperbandingkan atau dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada manusia. Dengan
begitu, kita tidak akan mengangkat ciri singa yang mempunyai kaki empat, suka
makan daging mentah, telanjang, tetapi mengambil ciri singa yang menggambarkan
kekuatan, keberanian, berkeliaran, dan sebagainya.
Untuk memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus
memahami makna yang terdapat dalam puisi tersebut. Apabila hal tersebut
dilaksanakan dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari, manfaat itu berlaku juga
bagi kehidupan manusia pada umumnya. Jadi jelas pemahaman nilai-nilai kehidupan
memang benar-benar memiliki relevansi dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.
b.
Prosa
Prosa merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri
antara lain (1) bentuknya yang bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan
makna dalam wujud alinea-alinea, dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung
longgar. Bentuk ini merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan
oleh pelaku-pelaku cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang sering
disebut dengan cerita rekaan. Bentuk ini terbagi atas kategori cerita pendek,
novelet, dan novel.
Sebagai cerita rekaan, ia juga harus memiliki
unsur-unsur, seperti pengarang, isi cerita, bahasa dan unsur-unsur fiksi.
Unsur-unsur cerita rekaan antara lain sebagai berikut (a) tokoh dan penokohan,
(b) alur, (c) latar, (d) tema, (e) amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya
bahasa, yang semuanya saling berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang
utuh.
Pembagian bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.
Yassin adalah cerpen, novel, dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi
yang habis dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang
mengisahkan perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan
dan perubahan nasibnya. sedangkan roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan
tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak sampai tutup usia. Jadi, panjang pendeknya
cerita tidak dapat dijadikan patokan. Namun, sekarang ini istilah roman sudah
jarang digunakan karena dianggap sama dengan novel.
Cerpen biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas
(jumlahnya sedikit), dan mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh
dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh
dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh
langsung ditunjukkan oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau dialog.
Di samping itu, cerita pendek biasanya mencakup rentang waktu cerita yang
pendek pula, misalnya semalam, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun.
Novel memiliki durasi cerita yang lebih panjang
dibandingkan dengan cerpen. Novel memiliki peluang yang cukup untuk
mengeksplorasi karakter tokohnya dalam rentang waktu yang cukup panjang dan
kronologi cerita yang bervariasi (ganda). Novel memungkinkan kita untuk
menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih komprehensif dan
memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai permasalahan
manusia. Itulah sebabnya, permasalahan yang diangkat menjadi tema-tema novel
umumnya jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan dengan cerpen.
Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis sangatlah
rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan
antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan
masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh tidak statis,
tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan keleluasaan juga
membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi bumbu cerita.
Demikianlah sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga
dibangun oleh unsur-unsur yang mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun
karya sastra lazim disebut dengan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri,
seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa.
Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka dan isi karya tersebut.
Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar karya
sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, dan filsafat. Faktor
ekstrinsik tidak menjadi penentu yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi,
bagi pembaca, hal tersebut tetap penting untuk diketahui karena akan membantu
pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari
kekosongan budaya.
c.
Drama
Pada dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa
fiksi. Kesamaan itu berkaitan dengan aspek kesastraan yang terkandung di
dalamnya. Namun, ada perbedaan esensial yang membedakan antara karya drama dan
karya prosa fiksi, yakni pada tujuannya. Tujuan utama penulisan naskah drama
adalah untuk dipentaskan. Semi (1988) menyatakan bahwa drama adalah cerita atau
tiruan perilaku manusia yang dipentaskan.
Jika dicermati secara saksama, drama memiliki dua aspek
esensial, yakni aspek cerita dan aspek pementasan yang berhubungan dengan seni
lakon atau teater. Drama sebenarnya memiliki tiga dimensi, yakni (1) sastra,
(2) gerakan, dan (3) ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak disusun khusus
untuk dibaca seperti cerpen atau novel, tetapi lebih daripada itu dalam
penciptaan naskah drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek pementasannya. Dalam
hampir setiap naskah drama selalu ditemukan narasi, dialog, dan arahan tentang
petunjuk lakuan atau akting.
Referensi:
Badrun,
Ahmad. 1983. Pengantar Ilmu Sastra.
Surabaya: Usaha Nasional.
Harjana,
Andre. 1985. Kritik Sastra Sebuah
Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Terima kasih Bu Winaria atas ilmunya.
BalasHapus@Mitha: Sama-sama, Sayang....
Hapus